Denpasar, Rasilnews – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak keras perhelatan Presidensi G20 Indonesia (G20) yang mana puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) akan diselenggarakan pada 15 hingga 16 November 2022 di Nusa Dua, Badung, Provinsi Bali.
YLBHI meyakini, Forum G20 hanya akan menjadi karpet merah bagi korporasi-korporasi jahat yang mengambil keuntungan dalam perhelatan tersebut.
“Forum G20 ini diyakini hanya akan menyediakan karpet merah bagi para korporasi jahat guna memenuhi pundi-pundi ekonominya. Negara juga seharusnya tidak memberikan karpet merah kepada para elite ekstraktivis yang selama ini telah terbukti menjadi akar masalah dari runtuhnya pondasi ekonomi rakyat,” ujar YLBHI, dikutip Rasilnews dari keterangan pers yang diunggah di laman resminya, Selasa (15/11).
Seharusnya, menurut YLBHI, negara menyediakan sarana dan pendukung tata produksi-distribusi-konsumsi. “Bukan malah menjadi antek dari korporasi yang bekerja ugal-ugalan,” ujarnya.
Melansir keterangan pers yang sama, disebutkan bahwa dalam setiap kampanye publik, pemerintah mengklaim bahwa dengan adanya G20, pemulihan ekonomi akan terjadi, khususnya bagi pariwisata Bali yang kini menghadapi krisis pasca pandemi.
YLBHi menilai, ini sejatinya untuk menyembunyikan berbagai masalah pembangunan megaproyek oleh Pemprov Bali dengan alasan menopang G20.
Selama periode Jokowi, YLBHI mengatakan, doktrin utama diplomasi pemerintahan Jokowi bersandar pada indikator ekonomi yang mereduksi kerja diplomat hanya sebagai broker bisnis dan perdagangan yang keberhasilannya diukur melalui seberapa banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia.
“Dengan menjadikan capaian finansial sebagai orientasi utama diplomasi Indonesia, Presiden
Jokowi menaruh label harga terhadap Indonesia: karena memiliki harga, maka kita bisa dibeli. Tak terkecuali pada perhelatan G20 yang diselenggarakan di Bali saat ini,” katanya.
Setidaknya di sepanjang tahun ini, YLBHI menyebutkan, ada megaproyek besar yang bermasalah yang dilakukan oleh Pemprov Bali bersama dengan pemerintah pusat, diantaranya: Pembangunan KEK Pariwisata Medis di Sanur; Terminal LNG di Kawasan Hutan Bakau; dan Pusat Kesenian Bali (PKB) di Klungkung.
Pemerintah menyebutkan bahwa semua proyek ini sejalan dengan agenda prioritas G20, utamanya di sektor energi dan kesehatan, dan secara khusus pengembangan pariwisata Bali sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional.
“Dengan adanya G20, berbagai proyek yang telah dirancang sebelumnya dipercepat prosesnya agar bisa menjadi ”pajangan” bagi mata investor besar yang akan menghadiri perhelatan G20 di Bali,” tuturnya.
Menurut YLBHI, sejak awal dibentuk, prinsip G20 adalah komite untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi melalui praktik imperialisme: ketika negara-negara besar menentukan takdir negara miskin melalui instrumen politik dan ekonomi dengan perjanjian global untuk memperoleh keuntungan.
“Di tengah polarisasi dunia, pemerintah Jokowi mewakili Indonesia dengan bertindak sebagai ”pedagang” di meja diplomasi untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Ini tercermin secara vulgar sampai ke politik lokal pemerintah Bali yang memanfaatkan momentum G20 untuk mempercepat pembangunan megaproyek dengan pembenaran bahwa proyek ini selaras dengan agenda G20,” tulisnya.
Harapannya, kata YLBHI, megaproyek yang dibangun ini bisa menarik minat investor negara-negara besar untuk berbisnis di Indonesia.
Mereka menilai, pada konteks ini, ada pertautan yang rumit antara politik lokal (pemerintah Bali), Nasional (pemerintah Indonesia), dan politik global yang semuanya berorientasi menjadikan forum G20 ini untuk kepentingan bisnis dan politiknya masing-masing.
Berlawanan dengan tujuan G20 yang diklaim untuk melindungi lingkungan, YLBHI menyatakan, pemerintah sendiri telah memaksakan Proyek-proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah dengan merampas tanah-tanah rakyat. Pembangunan PLTU Batubara, waduk, jalan tol, food estate, geothermal, sampai proyek Ibu Kota Negara (IKN) terus dikejar.
Selain tidak menjawab kebutuhan rakyat, lanjutnya, seluruh proyek tersebut juga menutup kesempatan rakyat untuk mengambil keputusan atas ruang hidupnya sendiri.
“Saat ini, dampak lingkungan terhadap proyek-proyek tersebut sudah menimpa masyarakat: sumber air kering, air minum tercemar, lingkungan tercemar, udara kotor, tanah pertanian rusak, ikan-ikan mati, hutan-hutan rusak, dan areal tangkapan nelayan menyempit,” demikian pernyataan YLBHI, tertanggal 12 November 2022.