Selasa, 21 Syawal 1445 H/ 30 April 2024
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle
Warung Madura di Bali diminta untuk tutup pada malam hari. Berita ini menjadi topik hangat belakangan ini. Merujuk pemberitaan media, di Klungkung alasannya adalah keluhan pemilik minimarket yang merasa terganggu pendapatannya, sedangkan di Denpasar disebutkan lebih pada alasan penertiban penduduk dan keamanan kota. Aturan kota memang tidak menyentuh warung informal, sehingga pemerintah kota di Bali sedikit bingung mengimplementasikan kebijakannya itu. Pemerintah pusat sendiri, kementerian koperasi, semula menyetujui pembatasan operasional warung Madura tersebut, menarik kembali ucapannya setelah banyak kritik. Pemilik warung bersikeras bahwa mereka justru bisa bertahan kalau buka di waktu dinihari. Lalu bagaimana kita melihat ini ke depan?
Pertama, dari kacamata sosiologi dan kebudayaan, pertumbuhan jumlah kelompok enterpreneurship (wirausahawan) di Bali tentu dapat menjadi potensi ketegangan sosial, karena keberhasilan mereka, khususnya dalam jangka panjang, akan menimbulkan kecemburuan di tingkat masyarakat bawah. Kedua, dari kacamata industri pariwisata, warung-warung Madura ini mengesankan “kekumuhan” kota, yang mungkin akan mempengaruhi kesuksesan industri pariwisata berskala internasional. Kita ketahui bahwa ditangan Sandiaga Uno, industri pariwisata bergeliat menjadi tulang punggung pendapatan negara. Bali sebagai target destinasi wisatawan asing dan penghasil devisa terus digenjot. Model warung klontong 24 jam tentu dikhawatirkan sebagai sumber kerawanan pula.
Kedua alasan di atas adalah sebuah cara pandang negatif, yang pastinya menjadi alasan pemerintah berusaha untuk membatasi pertumbuhan dan kesuksesan warung Madura tersebut. Apakah kita bisa mempunyai cara pandang lainnya? Untuk itu kita harus mengetengahkan 3 argumen penting untuk mendorong keberadaan dan kemajuan warung Madura tersebut.
Pertama, warung-warung Madura adalah fenomena urban, di mana di setiap kota yang mengalami kemajuan ekonominya, warga Madura datang untuk berusaha. Hal itu kita lihat di Monas dan Kota Tua di Jakarta, di Malioboro Yogyakarta, toko-toko kayu dan besi bekas di berbagai kota besar, dan lain-lain, bahkan menjadi enterpreneur sukses di Kalimantan Barat beberapa dasawarsa kebelakang. Hak warganegara mencari nafkah harus dilihat sebagai hak yang dijamin Undang-undang atau bahkan seharusnya negara berterima kasih, sebab sesungguhnya UUD malah mewajibkan negara memberikan pekerjaan layak pada semua warga.
Kedua, enterpreneurship. Sifat kewirausahaan orang-orang Madura, selayaknya juga orang Padang/Minang, merupakan anugrah yang harus disukuri bangsa kita. Kenapa, karena mayoritas bangsa kita mentalnya bukan mental pedagang, melainkan mental pegawai, yang menyebabkan gagalnya kita membangun masyarakat entrepreneur. Kaum enterpreneur di negara maju umumnya mencapai rerata 12% atau lebih sedangkan di Indonesia berkisar 4% dari jumlah masyarakatnya. Padahal salah satu syarat untuk menjadi negara maju tersebut, jumlah kaum wirausaha harus cukup besar. Menciptakan proporsi kaum usahawan tidak bisa diharapkan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha atau UMKM yang muncul karena KKN pada kekuasaan. Banyak anak-anak muda yang mendapatkan stempel pengusaha muda, muncul karena koneksi pada kekuasaan. Orang-orang seperti ini biasanya tidak dapat diandalkan karena mental calo.
Dengan demikian, enterpreneur model Madura ini yang perlu diperluas untuk Indonesia mencapai jumlah wirausaha yang dibutuhkan. Upaya Jusuf Kalla beberapa waktu lalu menghidupkan kelompok-kelompok saudagar daerah perlu dilihat sebagai kekuatan natural yang perlu dilakukan terus menerus. Oleh karena itu, melihat warung-warung Madura yang berkembang di Bali haruslah sebagai sumberdaya pebisnis yang perlu didukung agar tumbuh berkembang bersama kemajuan Parawisata Bali. Keberanian mereka bekerja siang malam harus disambut pemerintah Bali dan Ok Oc nya Sandiaga Uno dengan melakukan pembinaan pada sisi manajemen, kebersihan dan pembiayaan warung itu agar kompatibel dengan kemajuan kota Bali.
Ketiga, kerjasama bukan permusuhan dengan minimart. Kaum kapitalis yang menguasai supply-chain dan distribusi kebutuhan pokok dan berbagai keperluan rumah tangga sudah selayaknya melihat warung-warung rakyat sebagai bagian kemajuan bersama bangsa. Kita sadar bahwa supermarket dan Minimarket yang dikontrol kalangan taipan selama ini telah mematikan warung-warung lokal. Jika pikiran kaum taipan ini adalah “berbagi” bukan monopoli kemajuan bisnis, maka sebuah kerjasama harus dibicarakan dengan warung-warung tersebut. Pemerintah lokal dapat menjembatani kerjasama tersebut, baik dalam kepentingan pelayanan maupun kedepannya sebagai sumber inkom bagi pemerintah.
Dengan 3 alasan di atas sudah cukup bagi pemerintah di Bali maupun oleh pemerintah pusat bekerja mendukung warung-warung Madura tersebut. Pemerintah harus terus membangun totalitas dan proporsi kaum wirausaha di Indonesia, menciptakan kerjasama “bapak angkat-anak angkat” antara minimarket (ritel) modern dengan warung Madura dan mencari tambahan pendapatan daerah melalui retribusi daerah. Rencana pemerintah di Bali membatasi warung Madura harus dihentikan. Baik karena alasan kecemburuan Minimarket maupun ketertiban kota. Sebaliknya, warung Madura harus dibina dan dikembangkan sebagai bagian dari kewirausahaan nasional. Saatnya membela kaum lemah.
Wallahu ‘Alam Bishawwab