Tajuk Rasil
Rabu, 28 Jumadil Akhir 1445 H/ 10 Januari 2024
Kolom Republika, Oleh: Asma Nadia
Bali, provinsi dengan keindahan alam yang mencolok. Identik dengan tujuan para pencari adrenalin di satu sisi, dan ketenangan di sisi lain. Banyak yang datang untuk healing. Berbagai latar masyarakat hidup rukun dan harmoni.
Namun suasana tenang masyarakat Bali pecah saat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra mengucapkan kalimat yang memancing reaksi umat Islam se-Indonesia.
Sikap Arya yang menolak gadis berjilbab menjadi penyambut tamu di Bandara I Gusti Ngurah Rai ini dianggap banyak pihak mencerminkan arogansi dan jauh dari toleran.
Khususnya, sebab Arya pada saat itu berbicara atas nama anggota DPD yang seharusnya menjadi figur bijak dan teladan, pembawa amanat persatuan, dan bukan perpecahan.
Parahnya lagi, ucapan senator yang cukup sering menimbulkan kontroversi ini sangat tidak mencerminkan masyarakat Bali yang selama berabad-abad dikenal sangat ramah terhadap pendatang dan turis.
Penduduk Bali juga memiliki toleransi tinggi terhadap umat agama lain. Di Bali selama ini berbagai umat beragama hidup rukun berdampingan. Arak-arakan dan keramaian maulid yang diikuti umat agama lain, biasa terlihat di sana setiap tahunnya.
Sayang, satu ucapan yang mempermasalahkan jilbab itu –padahal jilbab bukan sekadar pilihan busana melainkan syariat Islam– betul-betul mengusik kedamaian. Kemarahan serentak terarah kepada sang senator.
Anggota DPD Bali lain terkena imbas saat mereka digeruduk massa. Sangat bisa dipahami jika protes keras lalu berujung pelaporan ke pihak berwajib terkait dugaan ucapan yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan itu.
Sang anggota dewan dianggap telah menghina warga setempat juga, sebab ia dalam posisi mewakili pandangan masyarakat Bali. Padahal sejak lama warga Bali hidup damai berdampingan dengan masyarakat Muslim di sana.
Ah wakil rakyat. Tidakkah seharusnya membiasakan memberi komentar positif yang berkontribusi pada kerukunan di Tanah Air?
Wakil rakyat tidakkah seharusnya menghadirkan kedamaian dan bukan perpecahan? Mengajak bersatu dan bukan melemparkan kalimat yang mencederai persatuan bangsa?
Wakil rakyat –terlepas berasal dari daerah mana, pada pundak mereka tertumpu citra baik suku dan agama yang dianutnya. Wakil rakyat seharusnya merakyat.
Bukan cuma perkara hidup bersahaja melainkan kehadirannya mewakili pikiran serta kebutuhan rakyat.
Dan sebagai bangsa bineka, ruang perbedaan seharusnya dimaknai para wakilnya sebagai sebuah kekayaan dan bukan senjata untuk melemahkan kebersamaan yang dirajut susah payah selama ini.
Wakil rakyat seharusnya… satu dua nada bermain di kepala. Wakil rakyat terlepas masih atau pernah menjabat –mereka terlatih bergerak untuk kepentingan lebih banyak orang.
Wakil rakyat seharusnya…
Sayup, di bawa semilir angin penggalan lirik lagu Iwan Fals itu terus berulang di benak.
Ya. Wakil rakyat seharusnya… merakyat
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb