Tata Kelola Donasi
Kolom Republika, Oleh: Any Setianingrum (Ketua Pusat Wakaf Universitas YARSI)
“Tajuk Rasil”
Selasa, 13 Zulhijjah 1443 H/ 12 Juli 2022
Selama dua tahun berturut-turut, 2020-2021, Indonesia menduduki peringkat tertinggi di dunia pada World Giving Index yang dikeluarkan Charities Aid Fondation, sebagai negara paling dermawan. Penilaian tersebut berdasarkan tiga kategori, yakni kesediaan donasi uang, meluangkan waktu dengan sukarela pada kegiatan sosial, dan membantu orang yang tak dikenal. Indeks ini mengindikasikan, masyarakat Indonesia antusias pada sumbangan sosial dan keagamaan.
Hasil indeks itu tak mengejutkan, mengingat sebagai negara Muslim terbesar di dunia, yang menempatkan sila ketuhanan pada urutan pertama, dalam sejarah Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat gotong royong dibandingkan interaksi masyarakat secara komersial. Data juga menunjukkan, potensi sumbangan sosial dan keagamaan di Indonesia sangat tinggi. Misalnya, potensi zakat Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen dari PDB Indonesia 2010, tetapi realisasinya masih sekitar 0,01 hingga 0,05 persen dari PDB 2015-2018.
Namun, minimnya regulasi tata kelola secara teknis dan komprehensif untuk dana filantropis/keuangan sosial dan keagamaan dari publik menimbulkan ironi, mengingat semakin hari lalu lintasnya semakin meningkat. Otomatis, kondisi ini rentan kesalahan manajemen, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan moral, konflik kepentingan. Selain itu, rentan terjadinya kecurigaan yang mengarah pada ketidakpercayaan, fitnah dan penghakiman, serta silang sengketa di ruang publik.
Bandingkan regulasi industri keuangan komersial yang ketat juga kewajiban mengikuti standar akreditasi nasional dan internasional. Tata kelola komprehensif membuat minimnya penyalahgunaan dari pihak industri dan meminimalkan ketidakpercayaan masyarakat.
Kesenjangan regulasi antara keuangan komersial dan keuangan sosial menjadi paradoks, mengingat jati diri Indonesia adalah masyarakat filantropi atau gotong royong dibandingkan komersial. Pada dasarnya, regulasi keuangan sosial harus menyeimbangkan beberapa tujuan. Di antaranya, tetap harus menggairahkan kegiatan filantropi/donasi, dengan mencegah penyalahgunaan aturan, dan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat.
Pada era dunia maya saat tidak ada lagi kendala sekat jarak dan waktu, teknologi digital menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, efek digitalisasi meningkatkan kontrol perilaku sosial dan tata kelola, di sisi lain sangat mudah meningkatkan manipulasi dan pembohongan publik.
Terkait isu penyalahgunaan sumbangan sosial dan keagamaan akhir-akhir ini, saatnya pemerintah mengantisipasi guna melindugi masyarakat, sekaligus memastikan dana yang dikumpulkan di ruang publik tak menjadi arena penyimpangan dan distorsi. Meskipun dilandasi prinsip sukarela dan kepercayaan kedua pihak, penyalahgunaan sumbangan sosial keagamaan di ruang publik berpotensi untuk merusak nilai kejujuran, kebersamaan, dan keterbukaan.
Selain itu, indikasi tingginya motivasi dan antusiasme masyarakat terhadap sumbangan sosial keagamaan tecermin saat pandemi Covid-19. Berbagai hasil riset menunjukkan lonjakan aktivitas berdonasi di berbagai daerah selama masa pandemi. Jangankan di Indonesia, di AS dan negara-negara, seperti Jerman, Puerto Rico, Jepang peran keuangan sosial sangat besar. Pemerintah di berbagai negara menyediakan kebijakan insentif atas pengeluaran sumbangan sosial oleh lembaga filantropi sesuai regulasi.
Demikian pula Australia, Kanada, Inggris, dan negara persemakmuran, India dan Singapura, menyediakan seperangkat hak fiskal khusus bagi organisasi nonprofit yang secara hukum berkegiatan di sektor sosial atau amal, serta turut dalam peningkatan kesejahteraan sosial. Contoh lainnya, pada masa pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW dan khulafaur rasyidin. Pengelolaan, pengumpulan, dan penyaluran zakat dilakukan baitul maal, yang merupakan institusi negara. Artinya, tata kelolanya mengikuti standardisasi baku regulasi negara.
Apalagi, pada era global sekarang ini, urgensi tata kelola khususnya di ruang publik menjadi kebutuhan yang tak dapat ditawar. Ini tidak hanya pada bidang komersial, tetapi juga filantropi. Agar tidak menjadi isu negatif bagi stakeholder filantropi, regulasi tata kelola tersebut harus benar-benar bertujuan untuk menegakkan transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran, dan melindungi kepentingan masyarakat.
Hal tersebut demi memastikan tidak ada penyalahgunaan keuangan publik yang bisa merugikan modal sosial masyarakat, dan menjamin tidak terjadinya ambiguitas di antara tujuan dan realisasi.
Wallahu ‘alam bisshawab