Selasa, 11 Rabiul Awwal 1445 H/ 26 September 2023
Artikel Republika, Oleh: Andrian Saputra
Dalam torehan sejarah bangsa ini, kepopuleran shalawat Badar tergolong fenomenal. Shalawat ini tak hanya dilafazkan oleh jamaah masjid. Para ulama, aktivis, dan politisi pun mengumandangkan syair tersebut saat melawan komunisme hingga pada era reformasi. KH Ali Manshur Siddiq merupakan sosok di balik terciptanya shalawat Badar. Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU) KH Muhammad Jadul Maula mengatakan, dalam sebuah catatan abjad pegon, Kiai Ali Manshur menuliskan, shalawat Badar ditulis sekitar 1962 atau setelah Dekrit Presiden 1959 dan menjelang upaya kudeta G-30-S PKI alias Gestapu.
Menurut Kiai Jadul Maula, Kiai Ali Manshur merasa gelisah dengan situasi umat dan kebangsaan pada era tersebut. Dia pun ingin menulis shalawat itu sebagai doa. Pada catatan itu, Kiai Ali Manshur mengatakan, pada malam Jumat tetangganya bermimpi didatangi sekelompok orang berjubah putih. Bersamaan dengan itu, istrinya, yakni Nyai Khotimah, bercerita mimpi melihat Kiai Ali Manshur berangkulan dengan Rasulullah ﷺ. Kiai Ali Manshur pun mendapat penjelasan dari Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi bahwa orang-orang berjubah itu adalah Ahlul Badr (para sahabat Nabi yang bertempur di Perang Badar). Dari situ, Kiai Ali menulis shalawat dan menamainya shalawat Badar.
Shalawat Badar kemudian dibacakan Kiai Ali Manshur di hadapan pamannya, yakni KH Ahmad Qusyairi, dan para muridnya. Beberapa waktu kemudian, para habib yang dipimpin Habib Ali bin Abdurahman al-Habsyi Kwitang datang menemuinya untuk mendiskusikan tetang situasi kebangsaan. Di tengah diskusi, Habib Ali Kwitang meminta Kiai Ali Manshur membacakan shalawat Badar. Para habib yang bertamu pun mendengarkan, mengaminkan, meluapkan rasa haru. Saat itu, Habib Ali Kwitang mengajak agar shalawat Badar dipopulerkan sehingga dapat menyaingi lagu “Genjer-Genjer” yang dipopulerkan PKI.
KH Ali Manshur kemudian diundang ke Jakarta untuk membacakan Shalawat Badar di hadapan jamaah. Habib Ali segera menginstruksikan murid-muridnya mencatat Shalawat Badar, mencetak, dan memperbanyak untuk di sebarkan ke berbagai daerah. “Shalawat Badar diciptakan mengiringi keprihatinan kebangsaan, nasib rakyat, umat di tengah situasi tahun 60-an. Komunis menggunakan kebudayaan melalui seni rakyat untuk mengusung tema komunisme yang bersitegang dengan kiai-kiai. Atas situasi itulah shalawat Badar tercipta,” kata Kiai Jadul Maula.
Hubungan NU dan PKI begitu memanas pada era 1960-an. Terlebih, banyak para kiai NU yang mendapatkan perlakukan kekerasan karena menentang ideologi PKI serta menolak upaya paksa perampasan tanah-tanah wakaf umat untuk pesantren dan masjid, atau lembaga pendidikan Islam oleh PKI. Sejarawan Islam yang juga rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong, Jember, Rizal Mumazziq, mengatakan, sebelum peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu) bentrok antara NU dan PKI sering terjadi di sejumlah daerah. Misalnya saja di Surabaya, pada 1960-an PKI melalui Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia menyerobot tanah milik Muslimat NU yang bertujuan untuk wakaf Yayasan Khadijah. Menurut Gus Rijal, PKI menginginkan agar tanah-tanah wakaf yang dimiliki pesantren atau kiai itu harus dibagikan secara merata bagi para rakyat atau Barisan Tani Indonesia.
Patok-patok yang dipasang pemuda rakyat dan BTI itu pun menyulut kemarahan para santri, terutama Banser hingga berujung bentrok. Penistaan terhadap agama Islam juga dilakukan PKI untuk memancing kemarahan warga Nahdliyin. Di Jember, misalnya, di tengah istighatsah dan pembacaan shalawat Badar oleh para santri dan GP Ansor, tak jauh dari lokasi, para anggota PKI justru menggelar parade nyanyian seni dan drama yang menyinggung umat Islam. Di antara drama yang ditampilkan berjudul “Matine Gusti Allah”, “Malaikat Kawin”, dan “Haji Bahrum” sebagai upaya merendahkan para ulama. “Jadi memang ini pertarungan ideologi melalui budaya atau seni,” kata dia.
Shalawat Badar memiliki daya tarik tersendiri pada setiap baitnya. Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Sukron Kamil menilai, dari struktur bahasa dan bentuknya, shalawat yang amat populer di nusantara itu telah memenuhi standar puisi Arab. Pakar sastra Arab itu menjelaskan, shalawat Badar memiliki syair yang mengikuti prosodi gaya lama, dengan kesesuaian pada tiap-tiap akhir kata (khofiyah). Selain itu, shalawat Badar memiliki bahar atau wazan tertentu yang dijadikan pola dalam menggubah syair Arab. Jenis bahar yang digunakan pada shalawat Badar adalah bahar hazj.
Dengan apiknya pemilihan susunan kata yang digunakan, banyak orang tidak mengira shalawat Badar diciptakan oleh seorang ulama dari tanah Jawa, yaitu KH Ali Manshur. Memang shalawat yang tersusun dari 28 bait itu tidak menggunakan bahasa-bahasa simbol yang umumnya menjadi kekuatan pada sebuah puisi. Kiai Ali Manshur lebih memilih kata-kata yang dapat mudah dipahami dan diingat pada setiap baitnya. Namun, menurut Prof. Sukron, hal itu menjadi kelebihan tersendiri dari Shalawat Badar.
Bait-bait shalawat itu memang menjadi sebuah doa KH Ali Manshur yang diperuntukkan kaum Muslimin di Indonesia dalam menghadapi berbagai kekuatan yang didominasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena itu, Shalawat Badar diumpamakan pasukan Muslim melawan pasukan kafir Quraisy yang memiliki kekuatan besar.
Wallahu a’lam bishawab