Rabu, 19 Rabiul Awwal 1445 H/ 4 Oktober 2023
Disadur dari Harian Republika edisi 23 Juni 1998. Oleh: KH Salahuddin Wahid (1942-2020)
Beberapa tahun lalu kita pernah mendengarkan kisah (anekdot) tentang seorang anak yang mengajukan suatu permintaan kepada orangtuanya. Si orangtua menjawab bahwa si anak bisa meminta apa saja kecuali rasa malu, karena orangtuanya sudah tak punya rasa malu lagi. Kini rasanya sindiran itu tak hanya tertuju kepada seorang pemimpin tertentu saja, tetapi juga kepada puluhan atau ratusan atau bahkan ribuan pemimpin bangsa ini dari segala tingkatan dan segala kalangan dalam masyarakat. Dan bisa diduga bahwa sindiran itu pun sudah tak mempan lagi bagi orang-orang yang betul-betul sudah tak punya rasa malu lagi.
Ada beberapa Hadits Nabi yang berkaitan dengan rasa malu. Pertama, ”Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu” (Riwayat Bukhari, Abu Dawud). Hadits ini menggarisbawahi atau menekankan bahwa rasa malu adalah salah satu alat yang ampuh untuk bisa mencegah seseorang melakukan perbuatan yang buruk dan tercela. Hadits lain berbunyi: ”Malu hanya membawa kepada kebaikan” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Rasa malu yang ada di dalam diri kita akan selalu membentengi diri kita terhadap dosa-dosa yang mungkin kita lakukan. Akibat logisnya ialah kita terhindar dari keburukan dan memperoleh kebaikan.
Rasa malu kepada Allah SWT adalah tingkatan yang tertinggi. Oleh karenanya, tidak mudah bagi kebanyakan orang untuk mencapainya. Surat Al Fushilat ayat 40 berbunyi: ”Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu kerjakan.” Dalam pengertian apa yang kita lakukan itu, termasuk juga kegiatan berpikir, munculnya berbagai perasaan di dalam kalbu kita, yang kesemuanya itu diketahui oleh Allah SWT. Tak satu pun yang luput dari pengetahuan Allah yang Maha mengetahui. Rasa malu kepada Allahw SWT akan menghalangi kita untuk melakukan perbuatan yang mungkin secara hukum tidak salah, tetapi jelas tidak etis atau tidak terpuji.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa tipisnya rasa malu dalam diri kebanyakan pemimpin di negara kita adalah salah satu sebab utama dari krisis total yang menimpa bangsa dan negara kita saat ini. Di samping itu, perlu pula dicatat tentang tidak adanya rasa bersalah pada kebanyakan pemimpin kita ketika melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan yang tidak etis. Oleh karena itu, lengkaplah sudah hilangnya kendali di dalam diri mereka, yang ditambah lagi dengan tidak berlakunya hukum dan keadilan di dalam masyarakat kita.
Cukup menarik untuk disimak, gejala menipisnya atau menghilangnya rasa malu di kalangan para pemimpin tersebut di atas. Kalau kita perhatikan dengan cukup cermat, sebenarnya mereka mempunyai rasa malu tetapi penempatannya tidak tepat. Di tempat yang seharusnya mereka tidak harus malu, ternyata mereka merasa malu. Sebaliknya, di tempat yang mereka harus malu, ternyata mereka tidak malu.
Sebagai seorang pejabat pemerintah, seharusnya sejak awal harus sadar bahwa tujuan utama dalam bekerja bukanlah mencari kekayaan, tetapi mendarmabaktikan pengetahuan dan tenaga untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi tidak perlu menyesal atau merasa malu, kalau tidak bisa hidup mewah, toh masih bisa hidup tidak kekurangan. Tetapi dalam kenyataannya, banyak pejabat pemerintah yang merasa malu kalau standar kehidupannya tidak tinggi. Hal ini adalah contoh dari rasa malu yang tidak pada tempatnya.
Contoh dari tidak adanya rasa malu di tempat yang seharusnya merasa malu dalam diri pada pejabat, cukup banyak jumlahnya. Pertama, banyak dari mereka yang sama sekali tidak merasa bersalah dan tidak merasa malu melakukan komersialisasi jabatan (nama lain dari kolusi dan korupsi). Mengapa mereka tidak malu melakukan praktik kotor tersebut? Mula-mula memang mereka malu tetapi dengan segera mereka akan terbiasa bahkan kecanduan. Apalagi banyak sekali pejabat lain yang melakukan tindakan serupa, jadi kenapa mesti malu? Sebab lain ialah karena tidak ada sanksi apapun baik secara hukum maupun secara sosial terhadap perbuatan tercela itu, asalkan tidak ada bukti dari perbuatan tersebut.
Contoh kedua, mereka tidak malu dan tidak perlu menutup-nutupi harta yang mereka peroleh dengan cara melanggar hukum dan melanggar etika itu. Mereka bukan saja tidak merasa malu bahkan mereka merasa bangga akan hasil serupa materi dari perbuatan tercela itu. Ada pejabat yang tidak malu untuk memarkir begitu banyak mobil mewah di halaman rumahnya. Tentunya masih banyak contoh lain dari hilangnya rasa malu dalam diri kalangan pejabat.
Jadi kalau kita masih ingin memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus segera menanamkan kembali rasa malu ke dalam diri para pejabat itu dan keluarga mereka. Harus juga ditanamkan rasa bersalah di dalam diri mereka diiringi langkah-langkah penertiban yang mengandung sanksi. Mudah-mudahan penghujatan kepada banyak pemimpin dan keluarga yang terjadi belakangan ini akan dapat menumbuhkan rasa malu dan rasa bersalah melakukan tindak kolusi dan korupsi di dalam diri para pejabat.
Wallahu a’lam bish shawab