Senin, 16 Jumadil Akhir 1444 H/ 9 Januari 2023
Resonansi Republika, Oleh: Asma Nadia
Sudah berpuluh tahun bangsa Palestina terusir dari negerinya sendiri. Namun, hingga setengah abad lebih belum terlihat tanda-tanda konflik akan sepenuhnya berakhir. Hujatan, resolusi, dan berbagai tekanan sudah berkali dijatuhkan kepada penjajah Zionis, tapi tidak banyak kemajuan berarti. Pengungsian, pelanggaran HAM, pembunuhan di Palestina kerap menghiasi media massa. Namun, dunia sepi reaksi.
Allah SWT kemudian membukakan jalan bagi saya dan beberapa teman Jilbab Traveler untuk melihat langsung kehidupan para pengungsi Palestina di Lebanon. Jujur, air mata saya jatuh di setiap pengungsian yang kami kunjungi. Terlalu banyak cerita sedih dan penderitaan yang uniknya dituturkan wajah-wajah tulus, yang mendekap hangat dan masih bisa tersenyum. Pada hari pertama di Beirut, saya berjumpa Nenek Halimah yang sudah puluhan tahun hidup di kamp Borj Al-Bajraneh. Usianya masih lima tahun saat ia bersama ayah, ibu, serta kakaknya menyelamatkan diri, terpaksa mengungsi. “Tapi, ayah saya tidak selamat. Dia kena tembak,” tuturnya saat menceritakan kisahnya.
Pada hari kedua, saya bertemu pemuda dan anak-anak Palestina yang giat belajar. Ketika ditanya cita-cita, mereka dengan semangat menjawab ingin menjadi dokter, insinyur, pemadam kebakaran, dan bahkan ada yang berkata ingin menjadi penjaga alam semesta. Wajah mereka cerah dan bersemangat. Semoga semangat itu tak musnah atau menyusut sebab kepedihan hidup yang terlalu banyak. Nasib yang tidak tersenyum ramah pada mereka.
Saya katakan demikian karena sebagian besar pengungsi tidak bisa bekerja. Sulit bagi mereka untuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan uang. Orang Palestina bukannya malas atau tidak mau bekerja. Namun, sebagai pengungsi, mereka tidak diizinkan bekerja. Mereka boleh belajar, tapi tidak boleh memanfaatkan ilmu yang dimiliki untuk mencari nafkah. Status pengungsi membuat kebebasan mereka untuk bekerja hilang. Mereka hanya mengandalkan kerja serabutan yang tidak resmi atau menunggu perpanjangan tangan donasi dari berbagai organisasi yang mengurus pengungsian.
Hari ketiga di Lebanon, saya bertemu dengan seorang yang kehilangan sebagian besar teman dan kerabatnya. Keluarga yang sama-sama meninggalkan Palestina satu persatu pergi.nDi antara pengungsi ada yang memilih untuk menentukan nasib sendiri. Mereka menyeberangi lautan demi harapan, mengadu nasib ke negeri luar. Entah Eropa atau negara lain yang mungkin terjangkau. Ada yang berhasil, ada juga yang tidak. Kapal kecil sederhana tak sekuat itu. Lebih sering kalah diterpa ombak. Dua bulan dari tanggal kedatangan kami, ada 150 orang Palestina termasuk bayi kecil yang ditelan ombak. Seluruhnya tewas. Padahal, saat pergi, semua pengungsi yang ingin mengubah nasib mereka tampak penuh harapan.
Pada hari keempat, saya bertemu seorang dokter cerdas yang mengabdikan seluruh keahliannya untuk teman sebangsanya. Ya, dia tidak dibayar. Begitu pun ia rela. Namun, sayangnya tidak banyak obat dan peralatan yang cukup untuk melakukan tindakan medis, seperti operasi. Salah satu kunjungan yang membuka mata dan hati saya adalah saat saya bertemu Yasser Ali, seorang penyintas yang melalui peperangan dan berbagai serangan. Menyaksikan bom meledak di depan mata. Ia menuliskan semua pengalamannya dan menjadi penulis salah satu penulis Palestina terkenal di Libanon.
Suratan kisah pilu para pengungsi mengisi hari-hari kami selama di Lebanon. Kadang menyapa saya saat saya berwudhu dan mengecap rasa asin di lidah. Air dan listrik adalah kemewahan. Terlalu banyak kesedihan yang kami hirup. Saya terpukul karena datang cuma dengan kelompok kecil membawa donasi sederhana yang kini terlihat bukan apa-apa. Jumlah yang bahkan untuk pesta kecil di Indonesia habis dalam hitungan jam. Tapi, salah satu ustaz yang mengayomi beddawi mukhayam (pengungsian) di Tripoli mencoba menyalakan semangat kami. “Jangan bersedih, satu dolar saja sangat bermakna untuk kami. Bukan uangnya. Tapi kedatangan kalian, menunjukkan perhatian, kepedulian. Juga harapan. Dan itu tidak terkira nilainya.”
Di Kamp Jalil, di Ba’al Baak, titipan tanda cinta dari saudara sebangsa –sebagian di antaranya tinggal di Paris dan Doha– kami salurkan langsung. Para pengungsi duduk bertahan di udara dingin, menunggu giliran dengan sabar pembagian selimut dan bahan makanan pokok. Air mata saya kembali membayang. Sebab, masih banyak keluarga yang tak mendapatkan. Bagian pendistribusian harus memilih siapa yang paling papa dan membutuhkan di antara mereka yang semuanya hidup dalam kekurangan makanan dan kedinginan serta masalah lainnya.
Undangan galang dana untuk pengungsi Palestina, menggerakkan mereka yang peduli. Namun, tetap saja ada yang mencibir dan dengan sinis mengulang pertanyaan: Mengapa harus Palestina yang jauh? Ada banyak jawabannya. Selain keberadaan al-Aqsha yang membuat konflik Palestina bukan lagi persoalan bangsa itu sendiri, melainkan seluruh umat Islam. Sekarang saatnya memberikan dukungan yang tiada henti. Sampai Palestina merdeka, dan tanah yang dirampas berhasil direbut kembali.
Wallahu A’lam Bish-shawab