Rabu, 11 Dzulqoidah 1444 H/ 31 Mei 2023
Oleh: Hayyin Thohiro
Menghadapi tahun politik 2024, pembicaraan seputar masjid juga ikut ramai diperbincangkan. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada acara pengukuhan pengurus Badan Kesejahteraan Masjid di Masjid Istiqlal Jakarta beberpa waktu lalu menyatakan bahwa masjid bukan sebagai tempat untuk konsolidasi politik rendahan menjelang Pemilu 2024. Untuk mendudukkan hal ini, kita perlu melihat seperti apa fungsi masjid serta makna politik sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ.
Masjid adalah institusi terpenting dalam Islam. Pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, masjid yang pertama kali dibangun oleh beliau adalah Masjid Quba. Awalnya, masjid ini merupakan pelataran yang kemudian dipagari dengan dinding tembok yang cukup tinggi. Lalu ketika Rasulullah ﷺ hijrah dari Makkah ke Madinah pun hal pertama dan segera dilakukan berkaitan dengan misi membangun masyarakat Islam adalah membangun masjid. Oleh karena itu, dibangunlah Masjid Nabawi. Masjid menjadi tempat ibadah dan segala aktivitasnya menyatu dengan realitas kehidupan. Hal ini sesuai kriteria pemakmuran masjid yang terdapat dalam QS An-Nur ayat 36—38.
Masjid dimaksudkan tidak hanya untuk melakukan salat pada waktu yang ditentukan, tetapi juga untuk banyak fungsi keagamaan, sosial, politik, administrasi, pendidikan, budaya, dan lainya. Di antara beberapa fungsi masjid pada masa Rasulullah ﷺ adalah sebagai tempat Ibadah. Fungsi masjid yang utama dan masih terus berlangsung hingga kini ialah sebagai tempat ibadah. Umat muslim pergi ke masjid untuk melaksanakan salat wajib berjamaah maupun salat sunah.
Fungsi masjid sebagai tempat pertemuan. Masjid menjadi tempat yang paling rutin digunakan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya bertemu. Rasulullah ﷺ juga menjadikan masjid sebagai tempat mengumumkan hal-hal penting yang menyangkut hidup masyarakat. Apa pun itu, berkaitan dengan masyarakat dan acara-acara besar juga diumumkan agar semua orang mengetahuinya. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat bermusyawarah. Pada masa Rasulullah ﷺ, masjid juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah, baik dalam merencanakan suatu program maupun memecahkan persoalan yang terjadi.
Fungsi lainnya adalah sebagai tempat perlindungan. Rasulullah ﷺ dan para sahabat sering memberikan perlindungan atau jaminan keamanan bagi seseorang apabila ia masuk ke masjid. Masjid juga digunakan sebagai tempat kegiatan sosial. Kegiatan sosial yang juga dipusatkan di masjid misalnya mengumpulkan zakat, infak, dan sedekah, lalu menyalurkannya kepada para sahabat dan masyarakat yang membutuhkannya. Bahkan masjid juga difungsikan sebagai tempat pengobatan orang sakit. Pada masa Rasulullah ﷺ, perawatan dan pengobatan terhadap pasukan perang juga dilakukan di lingkungan masjid. Dalam sebuah riwayat juga dikatakan bahwa masjid sebagai tempat latihan dan mengatur strategi perang. Di samping memusyawarahkan pengaturan strategi perang, di masjid juga dilakukan Latihan.
Masjid juga difungsikan sebagai tempat dakwah dan madrasah. Rasulullah ﷺ juga menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengajarkan wahyu yang telah diperoleh dari Allah Taala. Ini berarti masjid berfungsi sebagai madrasah bagi kaum muslim untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Bagi sahabat yang fokus beribadah dan mendalami ilmu agama, masjid berfungsi sebagai tempat tinggal dan singgah. Para sahabat yang menuntut ilmu—terutama yang tidak punya rumah—ditempatkan oleh Rasulullah ﷺ di masjid. Nabi ﷺ menamai mereka dengan “ashabush shuffah”.
Itulah beberapa di antara fungsi masjid yang dilakukan Rasulullah ﷺ di Masjid Nabawi. Semua aktivitas tersebut pada dasarnya adalah aktivitas politik karena ditujukan untuk mengurusi urusan umat, kaum muslim, dan warga negara Daulah secara keseluruhan. Mulai dari urusan ibadah, hingga edukasi politik. Oleh karena itu, di masjid tersebut dilakukan upaya mendidik umat Islam dari segala umur dan jenis kelamin, yakni dewasa, remaja, dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi orang dewasa, mereka memanfaatkan masjid untuk tempat belajar Al-Qur’an, hadis, fikih, dasar-dasar agama, bahasa, dan sastra Arab.
Kekhawatiran akan berpecah belahnya masyarakat akibat masjid dipakai untuk kegiatan politik saat ini, muncul karena lemahnya pemahaman masyarakat akan politik yang membatasi pada politik praktis. Ini sebagaimana dilakukan oleh parpol-parpol yang hanya mengejar kepentingan pribadi dan golongan, bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Memang saat ini, apalagi di kalangan masyarakat awam, politik identik dengan kegiatan mencari kekuasaan dan kekayaan. Tidak heran jika istilah “politik itu kotor”, “jangan bawa-bawa agama dalam urusan politik”, termasuk istilah baru yang sengaja di-booming-kan akhir-akhir ini, yaitu “politik identitas”.
Pemahaman politik yang salah dan membatasi penggunaan masjid hanya untuk ritual ibadah, sudah terjadi sejak adanya penjajah di negeri ini. Disadari atau tidak, itu merupakan politik penjajah agar masyarakat—khususnya muslim—tidak membicarakan perlawanan terhadap penjajah. Penjajah sadar apabila umat muslim bersatu memeranginya, mereka akan kalah. Faktanya, apabila kita lihat dari arti politik itu sendiri, siyasah bermakna ‘mengurusi urusan umat’. Politik juga dipahami sebagai strategi untuk memperoleh sesuatu agar lebih mudah, apa pun kegiatannya.
Dari sinilah perlunya mencerdaskan umat dengan pemahaman yang benar akan fungsi masjid, juga makna politik sebagaimana tuntunan Islam.
Wallahu A’lamu Bishshawab