Selasa, 14 Syawal 1445 H/ 23 April 2024
Oleh: Imam Shamsi Ali Al-Kajangi
Saya menuliskan ini karena teringat sebuah cerita yang terjadi antara pelari marathon dari Kenya dan Spanyol dalam sebuah kompetisi marathon beberapa tahun lalu. Atlet Spanyol Ivan Fernández Anaya berkompetisi dalam perlombaan lintas alam di Burlada, Navarre, Spanyol. Dia berada di urutan kedua, agak jauh di belakang pemimpin lomba Abel Mutai -peraih medali perunggu dalam lari 3.000 meter di Olimpiade London 2012-. Saat mereka memasuki garis finis, Ivan Fernandes melihat pelari Kenya secara keliru berhenti sekitar 10 meter sebelum garis finis, karena mengira dia telah melewati garis.
Dalam kompetisi marathon itu, pelari Kenya Abel Mutai, berada di garis terdepan dan hampir dipastikan memenangkan marathon itu. Akan tetapi beberapa jarak dari garis finish Abel agak bingung dan menyangka jika dia telah sampai di garis finish. Dia pun berhenti. Sementara itu di belakangnya pelari Spanyol, Ivan Fernandez, mengikutinya dengan cepat. Di saat dia melihat lawan larinya itu berhenti dia pun berteriak, berhenti dan mendekatinya. Diambilnya tangan dia dan diajak berlari bersama. Mendekati garis finish, Ivan sengaja lari lambat untuk memberikan kesempatan kepada Abel mencapai garis finish sebelum dirinya. Abel pun memenangkan marathon itu. Sementara Ivan harus puas di posisi kedua.
Di saat wawancara Ivan ditanya oleh wartawan: “kenapa anda melakukan itu?” Dia jawab: mimpi saya adalah untuk melihat suatu ketika kita hidup dalam bermasyarakat saling mendorong untuk sukses dan menang bersama”.
Wartawan kembali bertanya: “tapi kenapa anda membiarkan orang Kenya itu memenangkan pertandingan?”. Dijawabnya: “saya tidak membiarkan dia menang. Dia memang harusnya menang. Pertandingan ini memang dimenangkan oleh dia”.
Wartawan kembali seolah memaksa Ivan untuk memberikan jawaban yang berbeda: “tapi anda harusnya menang”. Ivan melihat padanya dan menjawab: “Tapi lalu apa nilai kemenangan saya? Kemuliaan apa yang akan saya dapatkan dari kemenangan yang tidak seharusnya? Dan bagaimana Ibu saya menanggapinya?”.
Beginilah nilai (kebenaran dan kejujuran) dalam sebuah kompetisi yang ditransfer dari generasi ke generasi. Lalu nilai apa yang kita ajarkan kepada anak-anak dan generasi kita dengan berbagai ketidak jujuran yang dipertontonkan tanpa malu dan dengan muka tebal kepada masyarakat luas?
Kerakusan kepada dunia, termasuk kepada kekuasaan, menjadikan manusia kehilangan jatidiri dan nurani, buta dengan nilai kebenaran dan kejujuran. Dorongan ketamakan menjadikanya kehilangan rasa malu dan sensitifitas dalam mendemonstrasikan berbagai kebohongan, keculasan dan ketidak jujuran bahkan dengan berbagai rekayasa justifikasi yang dimanipulasi.
Sesungguhnya prilaku kebohongan dan ketidak jujuran bukan sekedar memalukan dan menjijikkan. Tapi menjadi racun yang mematikan nurani dan rasa kemanusiaan generasi bangsa. Bahwa dengan mempertontonkan berbagai penyelewengan, kecurangan dan kebohongan, yang kemudian dibungkus dengan berbagai pembenaran yang direkayasa, menjadikan bangsa dan generasi masa depan mewarisi prilaku buruk yang berkepanjangan.
Pada akhirnya jika ini dibiarkan berlanjut, bangsa itu akan menjadi bangsa yang bercirikan, berkarakter, bahkan beridentitas kebohongan, manipulasi dan prilaku culas. Bangsa yang akan tenggelam dalam jurang kehancurannya. Bangsa yang kerap melakukan berbagai rekayasa yang merusak, yang mengantar kepada kehancuran diri sendiri (self destruction). Namun secara terus menerus merasa benar dan mengaku melakukan kebaikan.
Perilaku seperti ini dalam bahasa Al-Qur’an menjadi bagian dari “kemunafikan”. Allah SWT berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari”. (Al-Baqarah, ayat: 11-12).
Semoga Allah menjaga!
Wallahu ‘Alam Bishawwab