TERBAKARNYA terminal atau depo Bahan Bakar Minyak Plumpang, Jakarta Utara, milik PT Pertamina yang menelan 19 orang korban jiwa menimbulkan polemik seputar keberadaan depo BBM. Tak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi pun memberikan dua opsi untuk solusi jangka panjang agar kejadian ini tak terulang lagi. Dua opsi tersebut yaitu relokasi warga di sekitar Depo BBM Pertamina Plumpang atau memindahkan depo BBM ke lokasi lain. Nampaknya opsi kedua yang akan diambil oleh Kementrian BUMN.
Terkait kebijakan pemerintah terhadap masalah tersebut, coba kita telusuri asal mula pembangunan terminal BBM di Plumpang, Jakarta Utara ini. Dikutip dari pemberitaan cnbcindonesia.com, hitung mundur ke tahun 1970-an. Pendirian depo ini tidak terlepas dari situasi oil boom alias lonjakan harga minyak dunia yang membuat Pertamina mendapat “durian runtuh”. Oil Boom adalah terminologi untuk menyebut besarnya perdagangan minyak suatu negara -salah satunya akibat lonjakan harga minyak dunia- yang membuat negara menjadi untung besar. Dan Indonesia pernah mengalaminya pada tahun 1970-an.
Kala itu, harga minyak melonjak drastis akibat negara Arab melakukan boikot terhadap pasar global. Akibatnya, Indonesia yang kala itu tercatat sebagai net eksportir minyak tiba-tiba mendapatkan permintaan minyak dalam jumlah besar, sehingga membuat pemerintah mendapat rezeki besar. Rezeki ini kemudian dijadikan sebagai modal pembangunan. Pertamina sendiri pada saat itu turut berkontribusi membantu negara dalam melahirkan industri berat, salah satunya BUMN di industri baja, PT Krakatau Steel. Tak hanya itu, menurut catatan Rhenald Kasali dalam ‘Pertamina on the Move’, Pertamina juga mulai memperluas asetnya.
Pendirian aset baru tersebut untuk menggantikan aset warisan Belanda. Salah satu aset baru tersebut adalah Depo BBM Plumpang. Depo BBM tersebut dibangun pada 1971 dan beroperasi pada 1974. Bangunan berdiri di kawasan Plumpang yang saat itu masih didominasi rawa-rawa. Jadi, tidak ada yang menghalangi langkah Pertamina untuk membangun depo BBM di daerah ini. Barulah ketika Jakarta semakin padat dan masyarakat mulai berdatangan, lahan-lahan kosong pun dibabat untuk tempat tinggal. Ini terjadi sejak akhir tahun 1980-an. Firman Lubis dalam buku ‘Jakarta 1970-an’ menyebut, pada era 1980-an itu mulai banyak pohon karet dan rawa-rawa disulap menjadi permukiman, seperti di kawasan Kebayoran, Pondok Indah, termasuk juga kawasan Plumpang, Jakarta Utara.
Di Plumpang, warga perlahan tinggal di sekitar depo secara ilegal. Awalnya, tak ada masalah dengan pemukiman di sana. Namun belakangan, makin ramai warga yang berdatangan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat pemukiman. Bahkan, warga setempat justru menyalahkan keberadaan depo yang dinilai tidak cocok dibangun di sana. Ini menjadi suatu keanehan, sebab depo sudah ada sebelum warga berdatangan dan membangun hunian tempat tinggal.
Mengutip CNN Indonesia, warga di sana secara hukum pada mulanya dinyatakan ilegal. Mereka tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Setelah bertahun-tahun, mereka baru mendapatkan legitimasi pencatatan sipil dari negara usai Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pada 2012 Jokowi memberikan warga setempat Kartu Tanda Penduduk. Selanjutnya, di era Gubernur Anies Baswedan, Pemprov DKI menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk membantu pengurusan layanan umum bagi warga yang sudah tercatat kependudukannya berdasar KTP yang diterbitkan era Jokowi. IMB tersebut adalah IMB kawasan yang mencakup enam RW di tiga kelurahan.
Usai kasus kebakaran depo BBM pada Jumat lalu, “rebutan” lahan antara depo dan warga mencapai akhir. Pemerintah melalui Menteri BUMN akhirnya resmi menyatakan akan memindahkan depo yang telah berdiri hampir 50 tahun itu ke tempat lain, yakni tanah milik Pelindo, di daerah Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara.
Jika kita lihat catatan beberapa tahun terakhir, PT Pertamina telah beberapa kali mengalami insiden buruk berupa kebakaran kilang Bahan Bakar Minyak. Mantan Direktur Utama Pertamina periode 2006-2009 Ari Soemarno pun pernah angkat bicara melihat kebakaran tangki di kilang milik Pertamina yang terjadi berulang kali. Menurutnya, penyebab dari kebakaran tangki yang berulang karena terjadi degradasi budaya kerja operasional kilang, khususnya terkait dengan aspek keselamatan (safety) dan pemeliharaan.
Seluruh lini di lingkungan Pertamina dari pengambil kebijakan hingga ke pelaksana di lapangan harus menunjukkan tanggung jawab yang sungguh-sungguh. Tidak lupa semua pihak terkait dan pejabat yang berwenang jangan sampai sibuk mencari kambing hitam, apalagi direcoki oleh para politisi.
Wallahu ‘alam bisshawab