Jumat, 22 Jumadil Awwal 1444 H/ 16 Desember 2022
Dalam sebuah riwayat, dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiallhu’anhu: “Suatu hari aku mengikuti Nabi Muhammad ﷺ. Kulihat beliau memasuki kebun kurma. Tiba tiba beliau bersujud. Aku pun menunggu sujudnya yang lama sehingga aku khawatir beliau telah meninggal. Maka, aku datang menatapnya lekat-lekat. Beliau langsung mengangkat kepala. “Ada apa, Abdurrahman?” “Wahai Rasulullah, kau letakkan kepalamu disini lama sekali, aku khawatir engkau telah meninggal. Bahkan aku berkata dalam hati, Aku tidak akan berjumpa lagi dengan Rasulullah.”
Beliau Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Tadi ada utusan Allah mendatangiku. Ia berkata, “Maukah kau kuberitahu sebuah kabar gembira?” Allâh berfirman: ‘Siapa bersholawat untukmu satu kali, Allah bersholawat untuknya sepuluh kali”
Mendengar wahyu tersebut, Nabi bersujud dan meratakan dahinya yang mulia dengan tanah. Mengapa beliau melakukan itu? Mengapa beliau segembira itu? Gembira bukan karena beliau dikirimi sholawat. Beliau bergembira karena balasan yang Allâh berikan. Beliau gembira dengan sholawat yang Allah curahkan kepada kita.
Tokoh Sufi Syaikh Ibnu ‘Atho’illah mengomentari hadits itu dengan ulasan yang menggetarkan hati kita: “Seandainya sepanjang hidup engkau melakukan amal keta’atan, lalu Allâh memberimu 1 sholawat saja, tentu 1 sholawat itu lebih berat daripada semua amal ketaatanmu selama hidup. Sebab, engkau bersholawat sesuai dengan kapasitas kemampuanmu, sementara Allah bersholawat sesuai dengan sifat Ketuhanan-Nya. Ini baru satu sholawat. Lalu, bagaimana jika Allah bersholawat untukmu sebanyak 10 kali atas setiap 1 kali sholawatmu atas Rasul?”
“Sesungguhnya Allah SWT dan Para Malaikat-Nya selalu bersholawat kepada Nabi Muhammad ﷺ, Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Bacaan sholawat, atau doa dan pujian yang kita panjatkan kepada Allah untuk Nabi kita, Rasulullah ﷺ. ada banyak macamnya. Dari yang diajarkan Nabi sendiri hingga yang digubah oleh para ulama. Salah satunya adalah “Shalawat Asyghil“. Sholawat ini dahulu amat akrab di telinga kaum muslimin karena sering terdengar dari masjid-masjid dan mushola-mushola menjelang maghrib. Selain itu, langgam pengucapan sholawat ini juga sangat enak didengar di telinga.
Sholawat Asyghil disebut juga sebagai sholawat zalimin, sehingga dipercaya memiliki keutamaan salah satunya agar terhindar dari kezaliman. Menurut berbagai sumber, doa sholawat tersebut awalnya dipanjatkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, salah seorang tonggak keilmuan dan spiritualitas Islam di awal masa keemasan umat Islam. Beliau hidup di akhir masa Dinasti Umawyyah dan awal era Abbasiyyah yang penuh intrik dan konflik politik. Bagi beliau, kekacauan politik tak boleh sampai mengganggu proses pelestarian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Saat itu, ilmu pengobatan, geografi, astronomi, kimia, sastra hingga matematika, mulai berkembang dan diminati. Maka di setiap Qunut, beliau berdo’a dengan redaksi Sholawat Asyghil.
Sholawat Asyghil ini juga dikenal dengan sebutan sholawat Al Habib Ahmad bin Umar al-Hinduan Baalawy (wafat 1122 H). Dikarenakan sholawat ini tercantum di dalam kitab kumpulan sholawat beliau, namun beliau hanya mencantumkan, bukan mengarang redaksinya. Sehingga banyak ulama abad pertengahan hingga masa sekarang menganjurkan kaum Muslimin agar membaca sholawat Asyghil setiap hari, karena sholawat ini dapat menjadi benteng pertahanan dari kezaliman.
Di dunia penyiaran Indonesia, Sholawat Asyghil pertama kali dipopulerkan melalui pemancar radio milik Yayasan Pesantren As-Syafi’iyyah Jakarta yang diasuh ulama besar Betawi, almarhum KH Abdullah Syafi’i. Sholawat ini dibawakan dengan nagham (nada) yang sangat menyentuh hati, indah didengar dan terasa sejuk di hati pendengarnya. Mungkin menjadi kenangan religius yang tak terlupakan bagi kaum Muslimin yang sempat mengalaminya masa itu.
Menurut yang diajarkan almarhum KH Abdullah Syafi’I, salah satu hikmahnya Sholawat Asyghil adalah seolah umat Islam tengah difilter dan diuji keimanannya. Rasa iman yang masih ada mendorong untuk melakukan “perlawanan” dalam setiap kezaliman.
Wallahu ‘alam bisshawab