Kamis, 5 Dzulqoidah 1444 H/ 25 Mei 2023
Kolom Republika, Oleh: Fathurrochman Karyadi (lulusan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta)
Ketika Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) wafat pada 24 Juli 1981, usianya 73 tahun. Saat itu, K.H. Achmad Sjaichu berusia 60 tahun. Semasa hidupnya, kedua tokoh ini sering melakukan interaksi meskipun berbeda ormas. Buya Hamka di Muhammadiyah, Kiai Sjaichu di Nahdlatul Ulama (NU). Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji pemikirannya dan diteladani sepak terjangnya sebagai pemimpin. Ada beberapa catatan sejarah yang bisa diketahui terkait dua sosok teladan ini.
Pada 1 Muharram 1398 H atau 12 Desember 1977, Kiai Sjaichu mengundang sejumlah tokoh-tokoh Islam untuk silaturahim dan beramah-tamah sekaligus mengadakan musyawarah di rumahnya. Dalam pertemuan itu, hadir 29 orang antara lain: M. Natsir, Prof. Dr. H. Kasman Singodimedjo, Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Prof. Dr. Hamka, Letjen H. Sudirman, Prof. K.H. Ali Yafie, Dr. H. Anwar Haryono, SH dan lain-lainnya. Ketika pembahasan sampai pada masalah ‘aliran kepercayaan’, tampak terjadi perdebatan yang bertele-tele, yang hanya berkisar masalah redaksional. Di saat itulah, Buya Hamka tidak sabar langsung angkat bicara dan menyetop semua pembicaraan.
“Soal redaksional atur belakangan, yang penting kita sepakati dahulu isinya”, ujar Buya Hamka. Akhirnya semua setuju dan dalam waktu yang relatif singkat pembahasan selesai. Buya Hamka pun orang pertama yang menandatangani hal tersebut. Permasalah ‘aliran kepercayaan’ waktu itu sepakat disetujui jangan sampai menjurus kepada pembentukan agama baru dan kepada para pemeluknya dianjurkan untuk kembali pada induk agamanya masing-masing. Hasil pokok-pokok pemikiran tersebut diusulkan kepada Pemerintah. Buya Hamka memperlihatkan ketegasannya sebagai sosok tokoh muslim. Inilah ilmu kepemimpinan yang perlu dicontoh, yakni ketegasan.
Kemudian, pada 31 Agustus 1979 Kiai Sjaichu memperingati milad Ittihadul Muballighin, sebuah organisasi himpunan para pendakwah atau dai seluruh Indonesia yang didirikannya. Acara tersebut berlokasi di Aula Majelis Ulama Indonesia, kompleks Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Buya Hamka hadir dan memberikan ceramah yang amat berkesan di hati Kiai Sjaichu. “Jika orang menanyakan, siapa kawan Ittihadul Muballighin maka sayalah kawan Ittihadul Muballighin, dan saya akan membantu sepenuhnya bagi kemajuan perkembangan Ittihadul Muballighin di bawah kepemimpinan Pak Sjaichu,” tegas Buya Hamka.
Dalam milad Ittihadul Muballighin pada tahun berikutnya yang diperingati di Gedung Graha Purna Yudha Jakarta, Buya Hamka mengucapkan hal yang sama serta sikap dan teladannya juga nyata. Kiai Sjaichu mengakui bahwa Buya Hamka bukan hanya menyandang atribusi pimpinan Masjid Al-Azhar, Ketua Umum MUI, atau pimpinan Muhammadiyah tapi pimpinan umat Islam secara keseluruhan. Buya Hamka tidak memandang golongan atau aliran. Tidak heran jika banyak orang menaruh simpati dan kagum padanya, termasuk Kiai Sjaichu yang saat itu juga termasuk pimpinan di NU. Itulah jiwa kepemimpinan yang bisa diteladani dari Hamka, yakni tidak pernah membedakan ormas. Menjalin ukhuwah atau persaudaraan sesama muslim meskipun beda haluan.
Jiwa kepemimpinan Hamka lainnya tampak saat dirinya diminta menjadi Imam Shalat Jenazah Bung Karno, Presiden pertama RI. Bung Karno pernah memenjarakan Buya Hamka namun Hamka tetap ikhlas dan mau menshalatkan jenazah alm Bung Karno. Bagi Kiai Sjaichu, inilah manifestasi ajaran Islam, mendahulukan kasih sayang daripada benci, mengutamakan maaf daripada dendam kesumat. Hamka mampu menempatkan ruang di mana politik dan di mana kemanusiaan harus berperan.
Kiai Sjaichu menganalisis soal kepemimpinan bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan nomor satu, bertitel ketua, atau tokoh utama, tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai ‘pemimpin’. Ada dua pertanyaan yang perlu diajukan, yang pertama, apakah ia naik dari anak tangga bawah lalu ke atas, atau langsung dari atas saja? Pertanyaan kedua, apakah ia ‘manunggal’ atau menyatu dengan masyarakat atau orang yang dipimpin atau tidak? Pemimpin yang berasal dari anak tangga bawah pun, perlu diuji kembali. Apakah ia tetap konsisten dengan jalur perjuangannya setelah berada di atas? Karena, bagi Kiai Sjaichu, ada pemimpin yang hanya memanfaatkan anak tangga sebelumnya, setelah di atas ia tidak mengulurkan kasih sayang, enggan menengoknya lagi. Di sinilah tanggung jawabnya terhadap umat luntur dan rapuh.
Pemimpin memang bisa dinilai dari bobot kemampuan (skill) dan intelektual, namun bagi Kiai Sjaichu tak cukup dari itu saja. Masih diperlukan konsisten dan konsekuen dalam pendirian dan sikap. Di samping itu, ia harus memiliki sikap keberanian mengatakan kebenaran apa pun risikonya. Yang hitam adalah hitam, dan putih tetaplah putih. Karena tidak sedikit pemimpin yang sikapnya labil dan tidak punya pendirian. Yang terjadi, pendiriannya selalu condong ke mana arah mata angin berembus. Karakter pemimpin seperti ini, menurut Kiai Sjaichu, akan lebih suka membawa pesan dari atas daripada menyuarakan aspirasi umat atau rakyat yang dipimpinnya.
Kiai Sjaichu menyatakan terus terang bahwa Buya Hamka termasuk seorang pemimpin. Buya Hamka memiliki akar yang kuat sebagai ulama, jurnalis, dan sastrawan. Kesaksian Kiai Sjaichu ini dituliskannya dalam testimoni buku bunga rampai Hamka di Mata Hati Umat (1996). Kiai Sjaichu wafat di usia 74 pada 1995. Baik Buya Hamka maupun Kiai Sjaichu hingga kini namanya terus dikenang. Buya Hamka meninggalkan banyak karya tulis. Sementara Kiai Sjaichu, pada 1988 mendirikan Pesantren Al-Hamidiyah, di Depok, Jawa Barat. Dari lembaga pendidikan inilah, Kiai Sjaichu mengkader para ulama, dai, dan pemimpin untuk Indonesia di masa depan.
Wallahu A’lamu Bishshawab