“Tajuk Rasil”
Kamis, 4 Syawal 1443 H/ 5 Mei 2022
Di Balik Fenomena Arabfobia dan Islamofobia Lokal
Artikel Hidayatullah.com, Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Beberapa pekan ini jagad media sosial Twitter kembali digegerkan oleh ujaran-ujaran kebencian bernada rasialis bahkan cenderung mengarah ke fasisme. Seperti yang sudah akrab di telinga, kadrun-isasi yang biasa dilontarkan oleh para pendengung bayaran (BuzzeRP) dan para kelompok pendaku paling Pancasilais belakangan kian marak disematkan kepada kelompok maupun individu di dunia maya yang mereka nilai berseberangan pemikiran.
Pada 21 April 2022 seorang politisi muda yang selama ini dikenal militan berada di barisan partai pembela penguasa dan awalnya memiliki ‘kartu anggota’ Kelompok paling Pancasilais mendadak dicap sebagai kadrun, sebuah stigma yang selama ini menjadi musuh nomor wahid dari barisan si politisi tersebut. Bukan tanpa sebab dia mengalami hal itu, pasalnya dia telah dianggap ‘murtad’ dari barisan kaum toleran oleh beberapa orang yang selama ini sepemikiran dengannya setelah dia memutuskan keluar dari partainya dan tertangkap kamera saat acara perkawinannya sedang bersalaman dengan sosok gubernur yang selama ini jadi fokus utama hujatan partainya. Akhirnya cap ‘Kadrun’ dan antek Yaman pun diberikan kepadanya.
Belum reda kegaduhan itu, pekan ini publik kembali digegerkan oleh pernyataan yang tidak kalah sadis yang lagi-lagi bertitik tembak sama yakni, Islam atau hal yang berbau Arab. Kali ini pelakunya adalah seorang rektor sebuah perguruan tinggi milik pemerintah yang beralamat di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam tulisannya itu, yang diunggah pada 26 April 2022, dengan nama akun Facebook Budi Santoso Purwokartiko, Dalam tulisannya itu nampak bahwa dirinya sedang menguji mahasiswa yang ikut beasiswa LPDP. Dalam seleksinya, ia mengagumi kepintaran para peserta dari nilai IPK, cita-cita, hingga penguasaan Bahasa Inggris. Di tengah memberikan pujian dengan sikap nasionalisme mereka, rektor ini juga menyindir mahasiswi lainnya yang memakai tutup kepala ala manusia gurun yang mempunyai sikap sebaliknya. Mereka ini digambarkan mahasiswa yang membicarakan soal kehidupan setelah kematian dan juga seolah-olah mereka tidak nasionalisme serta tidak memberikan kontribusi kepada masyarakat dan negara.
Dua kasus rasialis dari pihak yang selama ini gemar meng-kadrun-kan pihak lain itu memiliki sebuah arah yang jelas yakni permusuhan kepada sesuatu yang berbau Islam dan Arab. Rasialisme, Islamofobia, Xenofobia bahkan fasisme adalah label yang tidak berlebihan untuk disematkan kepada kelompok yang ironisnya selama ini mentahbiskan dirinya secara sepihak sebagai barisan paling Nasionalis tersebut.
Dr. Mansour Fakih pada kata pengantar buku, People and Politics Fascism, menyatakan bahwa Fasisme sebagai gerakan politik berkembang dalam kehidupan politik di Eropa antara tahun 1919 sampai 1944. Yang menarik, yang menjadi ciri penting dari hampir semua gerakan fasisme adalah mereka meletakkan negara sebagai pengatur dan pusat seluruh sejarah dan kehidupan, serta pada otoritas imamah yang tak terbagi dari para imam dan pemimpin di mana rakyat sangat tergantung harapan untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, terbebas dari disintegrasi.
Jadi sebenarnya ada alasan yang sangat kuat dan absah ideologi fasisme sangat mungkin juga menghinggapi pikiran masyarakat manapun jika dihadapkan pada situasi yang diyakini sebagai mengancam kehancuran bangsa. Dengan kata lain Fasisme juga sangat mungkin akan timbul di Indonesia. Apalagi saat ini, dimana Indonesia tengah menghadapi krisis multidimensional, krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis politik yang belum tuntas, dan yang lebih besar lagi krisis negara kesatuan. Jika tidak menemukan solusi yang tepat dan berhasil, akan menjadikan negara disintegrasi.
Situasi seperti saat inilah merupakan situasi yang sangat memungkinkan tumbuh suburnya paham dan keyakinan fasisme atau paling tidak merestui atau membenarkan fasisme. Untuk itu selain mewaspadai bangkitnya fasisme, sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia untuk memikirkan dan menemukan suatu solusi yang demokratis, adil, dan damai dalam menghadapi krisis saat ini.
Terkadang timbul pertanyaan di benak kita, mengapa yang selalu dijadikan sasaran kebencian oleh barisan rasialis itu adalah Arab bukan yang lain misal etnis cina atau Eropa, jawabannya adalah bisa jadi seperti yang ditulis oleh Arif Wibowo, Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Surakarta. Dia menyatakan hal itu tidak bisa dilepaskan dari peran para cendekiawan misionaris era kolonial, karena pasca Perang Jawa dan Pangeran Diponegoro kalah, mereka tetap melihat Islam sebagai “the dark force” yang membawa masyarakat Jawa untuk terus melawan Belanda.
Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa dendam warisan para musuh Islam yang dilanjutkan oleh para kolonialis lewat para cendekiawan mereka, adalah akar utama kebencian kaum rasialis itu terhadap Islam dan Arab. Pemikiran mereka adalah sealur seirama dengan pikiran para kolonialis terdahulu dalam memandang Islam dan Arab. Bahkan dalam bingkai kenegaraan, sebagai bangsa yang tidak amnesia sejarah dan tahu cara membalas budi kepada orang lain, maka tak sepatutnya kita membenci pihak yang telah sangat berjasa kepada kita. Siapa itu, tentu umat Islam dan Arab. Karena Islam dan Arab tidak pernah menjajah bangsa ini.
Wallahu a’lamu bishawab