Rabu, 10 Rajab 1444 H/ 1 Februari 2023
Oleh: Smith Alhadar, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Pada 25 Januari lalu, dalam konferensi pers, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, dalam dekade lalu rival politiknya memperingatkannya, jika tak melakukan konsesi besar kepada Palestina kami akan menerima tsunami diplomatik yang akan segera membawa pada tsunami ekonomi. Dalam praktiknya, katanya, yang terjadi justru sebaliknya. Kebijakan kami justru membawa Israel pada perjanjian perdamaian bersejarah dengan empat negara Arab, juga kemajuan diplomatik dan kemakmuran ekonomi yang tak ada presedennya.
Netanyahu merujuk kebijakan pemerintahannya terhadap Palestina sejak intifada kedua berakhir pada 2005. Israel secara bertahap mengadopsi kebijakan di mana pendudukan Palestina, sejak 1967 diperlakukan sebagai masalah keamanan, bukan politik. Tembok-tembok dibangun mengelilingi Tepi Barat dan Israel relatif aman dari serangan Palestina, tindakan keras militer dilakukan. Di pihak lain, pada 2020 Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel.
Saat ini, kebijakan yang sama dilakukan Netanyahu menyusul eskalasi kekerasan mematikan dengan Palestina sejak pemerintahannya terbentuk akhir 2022. Namun, kebijakan ini diragukan akan berhasil. Setelah membunuh 30 warga Palestina di kamp pengungsi Jenin, dalam sebulan terakhir, berpuncak pada pembunuhan 10 warga Palestina pada 26 Januari. Sebelumnya, kelompok Jihad Islam di Jalur Gaza menembakkan dua roket ke Israel, dibalas serangan udara.
Perdamaian empat negara Arab dengan Israel lebih terkait dinamika politik di kawasan, bukan wujud apresiasi mereka atas kebijakan Israel terhadap Palestina. Maroko bersedia berdamai dengan Israel sebagai imbalan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump mengakui Sahara Barat, daerah konflik Maroko dengan kelompok bersenjata Polisario, sebagai milik Maroko. Sudan melakukan hal sama menyusul runtuhnya rezim diktator Omar al-Bashir pada 2019. Pemerintahan baru membutuhkan bantuan ekonomi dan keluar dari isolasi internasional akibat diboikot Amerika Serikat terkait tuduhan Sudan mendukung terorisme. Dengan berdamai dengan Israel, Washington mengeluarkan Sudan dari daftar negara pendukung terorisme dan membuka akses Sudan ke Dana Moneter Internasional (IMF).
UEA dan Bahrain melihat Israel sebagai kekuatan militer di kawasan yang bisa diandalkan untuk mengimbangi Iran sebagai kekuatan militer terbesar di Teluk. UEA dan Iran terlibat sengketa Pulau Tunb Besar, Tunb Kecil, dan Abu Musa di mulut Selat Hormuz yang diduduki Iran. Bahrain melihat Iran sebagai musuh karena Teheran mendukung gerakan Syiah di kerajaan itu sejak 2011. Tapi eskalasi yang sedang berlangsung antara Israel dan Palestina bisa jadi justru memundurkan hubungan Israel dengan Arab, terutama bila Palestina tetap bergejolak.
Pasalnya, keberhasilan Netanyahu membungkam Palestina di masa lalu karena ia berurusan dengan generasi lama. Saat ini, banyak pemuda Palestina kian frustrasi, serta lebih bertekad menyerang balik. Ini yang memicu munculnya kelompok bersenjata di Tepi Barat pada 2021. Para pemuda ini tidak di bawah kendali faksi-faksi Palestina tradisional, seperti Fatah, Hamas, dan Jihad Islam, maupun Otoritas Palestina di bawah Presiden Mahmoud Abbas yang kian tidak populer akibat mandeknya proses perdamaian Israel-Palestina sejak 2014.
Banyak dari kelompok pemuda baru ini berafiliasi dengan faksi tradisional tetapi memutuskan mengambil jalan sendiri dan berkelahi melawan orang Israel. Ini salah satu alasan munculnya serangan terhadap orang Israel pertengahan 2022 dan meningkatnya penggerebekan di Tepi Barat. Kelompok-kelompok baru ini berbicara tentang isu yang lebih luas irelevansi politisi-politisi tua yang terus meningkat, yang mendominasi kehidupan politik Palestina selama puluhan tahun. Ketiadaan kepemimpinan dan munculnya kelompok-kelompok independen baru, bermakna hal ini makin sulit bagi negara-negara asing mengintervensi dan meredakan situasi.
Memburuknya peristiwa seperti operasi militer di Jenin mematangkan situasi. Maka, insiden-insiden mendatang dapat memicu intifada ketiga, seperti bentrokan di Masjid Al Aqsha, perang baru di Gaza, pengusiran orang Palestina di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, serta serangan mematikan Israel ke kamp pengungsi Palestina. Peristiwa-peristiwa serupa adalah bagian dari intifada pertama dan kedua. Setelah tahun mematikan seperti itu, mungkin intifada ketiga akan menjadi nyata.
Melihat situasi yang memburuk, Menlu Amerika Serikat Antony Blinken melakukan kunjungan tiga hari ke Timur Tengah untuk mendeeskalasi situasi. Namun, tanpa membawa konsep perdamaian, kunjungan itu tak banyak berguna. Ambisi Netanyahu memperluas perdamaian dengan sebanyak mungkin negara Arab pun tidak prospektif. Artinya, sesumbar Netanyahu di awal tulisan ini hanyalah ilusi. Mestinya, ia tak berharap menenangkan orang Palestina melalui penindasan dan penghinaan sambil berharap negara lain mengapresiasi tindakannya. Apa yang terjadi di Palestina menegaskan, mewujudkan kemerdekaan Palestina bukan pilihan, melainkan keniscayaan.
Wallahu A’lam Bish-shawab