Rabu, 23 Rabiul Awwal 1444 H/ 19 Oktober 2022
Resonansi Republika, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Dunia ini tak pernah sepi dari konflik. Coba tengok peta satelit dunia, di sejumlah titiknya berwarna hitam, tanda gedung-gedung yang baru terbakar terkena bom. Juga onggokan tank dan kendaraan lapis baja yang hancur dihantam peluru. Atau berwarna merah pertanda baru terjadi pertumpahan darah. Bahkan, masyarakat internasional kini menunggu dengan waswas perang dunia ketiga, akibat pertempuran sengit di Ukraina, yang belum diketahui kapan berakhir. Juga belum diketahui, apakah perang itu menyeret negara lain dan akhirnya akan menggunakan senjata nuklir. Pada waktu bersamaan, konflik lama terus mengepung Timur Tengah, terutama wilayah Arab.
The Global Conflict Monitor of the Council (GCMC) AS mencatat, minimal 27 konflik kini berkecamuk di seluruh dunia. GCMC, sebagaimana dikutip al Sharq al Awsat, mengklasifikasi konflik itu ke dalam tiga kelompok: memburuk, tidak berubah, dan membaik. Sedihnya, GCMC menyimpulkan pandangan pesimistis, tidak ada satu pun konflik yang digambarkan ‘membaik’. Berdasarkan laporan International Crisis Group, dari 10 konflik menonjol tahun ini, enam di antaranya di Timur Tengah. Yaitu, konflik Israel-Palestina, Yaman, Afghanistan, Etiopia, Iran, dan terorisme di negara-negara Sahel dan Sahara, Afrika. Sisanya, konflik paling panas terjadi di Ukraina, Myanmar, Cina versus Taiwan, dan Haiti.
Menurut pakar internasional dan analis politik, konflik di Timur Tengah lebih kompleks dibandingkan perang di tempat lain. Para ‘pemainnya’ melibatkan banyak pihak: lokal, regional, dan internasional. Bahkan, pemain regional dan internasional justru sering memanfaatkan pemain lokal. Ini menambah rumit penyelesaian konflik, bahkan kerap memperluas wilayah konflik. Krisis di Suriah dan Libya sebagai contohnya.
Menurut Sayyed Ghoneim, profesor tamu di NATO dan Royal Military Academy di Brussels, Belgia, dalam setiap konflik di Arab, minimal ada dua pemain. Pertama, negara tempat konflik berlangsung, misalnya Suriah, Irak, Yaman, Libya, dan Lebanon. Kedua, negara yang bisa memengaruhi jalannya konflik. Dari kalangan Arab ada Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Mesir. Dari non-Arab, ada Turki, Iran, Israel, Amerika Serikat, Rusia, dan lainnya. Konflik di Arab dan sekitarnya selalu menarik perhatian kekuatan regional dan internasional. Mengingat, kepentingan global kawasan bagi keamanan energi dan navigasi internasional. Kawasan Arab mengontrol sumber daya terbesar energi global minyak dan gas. Mengawasi selat dan arteri navigasi terpenting pergerakan perdagangan global, salah satunya Terusan Suez.
Konflik lainnya, Israel versus Palestina. Ini konflik terlama dan tertua dalam sejarah. Hingga kini belum ada prospek solusi segera. Banyak pihak memperkirakan stabilitas tak akan terjadi di kawasan ini selama Israel melanggar hukum dan perjanjian internasional. Menurut peneliti Palestina, Jihad al Harazin, serangan terhadap Palestina, pengusiran dari lingkungan Arab di wilayah pendudukan, dan pengambilalihan rumah milik Palestina menjadi penderitaan berkelanjutan sejak 1948. Ini membuat konflik benar-benar bersejarah.
Selain Timur Tengah, Benua Afrika menjadi tempat konflik tiada henti. Lihatlah, kelompok teroris al Jamaah al Jihadiyah kini menyebar ke Mali, Niger, dan Burkina Faso. Juga gejolak politik di Mali, Chad, dan Guinea setelah kudeta militer. Belum lagi perang saudara di Etiopia sejak 2020. Selain konflik internal, bisa merembet ke negara yang berbatasan dengan Etiopia. Termasuk dengan Sudan dan Mesir yang kini berkonflik soal air Sungai Nil. Bila konflik internal di Etiopia berkepanjangan, berdampak ke seluruh negara di Laut Merah dan Tanduk Afrika, wilayah yang stabilitas politik dan keamanannya rapuh.
Konflik berkepanjangan, antara lain karena kekuatan asing. Mereka berstandar ganda, sesuai kepentingannya. Misalnya, konflik Israel-Palestina. Mereka tak menganggap hak bangsa Palestina, tapi selalu memberikan perlindungan hukum dan politik bagi pendudukan Israel. Lalu berapa biaya keluar akibat konflik? Menurut laporan terbaru International Peace Index yang dirilis Institute for Economics and Peace di Sydney, Australia, kerugian ekonomi global dari konflik bersenjata dan kekerasan mencapai 16,5 triliun dolar AS pada 2021.
Bank Dunia memperkirakan hingga dua pertiga penduduk dunia yang miskin akut pada 2030, berada di negara-negara yang diwarnai konflik dan kekerasan. Sayangnya, perang dan kekerasan sulit dihindari atau disetop. Bahkan, PBB tak kuasa menghentikannya. Lantaran banyak pihak yang justru diuntungkan dari perang. Mereka adalah produsen dan pemasok persenjataan dengan segala jenisnya. Pada 2020 saja, total penjualan senjata oleh ‘Top 25’ produsen senjata dunia naik 8,5 persen menjadi 361 miliar dolar AS, atau 50 kali lipat dari anggaran tahunan operasional penjaga perdamaian PBB.
Produsen senjata dunia itu didominasi Amerika Serikat, Cina, Rusia, negara Eropa Barat, dan Israel. Dan, tidak bisa dimungkiri, ada sejumlah pemimpin negara yang ‘hobinya’ mengobarkan perang, dengan berbagai dalih. Ujungnya, rakyatlah yang menderita.
Wallahu a’lam bis shawaab