“Tajuk Rasil”
Kamis, 13 Ramadhan 1443 H/ 14 April 2022
Sur’atul Istijabah
Dalam sebuah riwayat, Abu Dujana radhiallahu’anhu telah mencatatkan dirinya sebagai Ruhul Istijabah, yaitu jiwa-jiwa yang merespon panggilan dakwah dengan segera. Jiwa-jiwa yang memenuhi panggilan Jihad, kemudian menjualnya dengan kemewahan surga. “Wahai Rasulullah, apa yang akan aku dapatkan dari jihad bersamamu? Tanyanya suatu ketika. Rasulullah menjawab,” Syurga”. Lalu seketika ia pun merespon: “Kalau begitu aku akan berperang sampai aku syahid dengan luka di sini.” Kata Abu Dujana sambil menunjuk ke lehernya. Rasulullah kemudian mengapresiasi semangatnya itu dan berkata, “Engkau akan mendapatinya, karena engkau jujur kepada Allah SWT.”
Tak lama kemudian, berkumandanglah panggilan jihad. Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk segera berangkat ke Uhud. Dan berangkatlah Abu Dujana dengan semangat yang menyala-nyala. Dengan segera ia merangsek ke dalam barisan Uhud dan mengatakan, “Sesungguhnya aku mencium wanginya syurga di balik Uhud” Dan benar, ketika para syuhada Uhud dimakamkan, para sahabat mendapati tubuh Abu Dujana penuh dengan 70 luka pedang, dan luka panah persis seperti yang dia tunjukkan. Allahu akbar!
Respon yang luar biasa dari kisah para sahabat dalam perang Khaibar juga bisa kita pelajari. Perang yang paling lama dan melelahkan. Dipuncak kelelahannya, adalah ketika pasukan Muslim berhasil menguasai benteng Ash Sha’b bin Mu’adz, benteng yang paling kaya dengan sumber makanan dan senjata. Di sana mereka telah memasak seekor himar untuk mengisi perut mereka yang lapar. Di saat masakan telah siap disajikan, tiba-tiba turun wahyu tentang pengharaman himar. Apa yang terjadi kemudian?
Seketika kuali yang berisi harum daging himar dibalikan dan tumpahlah isinya. Tak ada permohonan toleransi atau pembantahan kepada Rasulullah. Nyaris diluar ketaatan kita yang didominasi logika. Mungkin jika kita menjadi meraka akan mengatakan, “Mengapa wahyu itu tidak turun sebelumnya? Tentunya tak akan membuat kecewa perut yang telah keroncongan berhari-hari ini.” Itulah ketaatan dan kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul Nya. Yang menembus batas-batas logika.
Sur’atul Istijabah dimaknai dengan respon cepat dalam seruan Allah dan Rasul-Nya. Respon yang tinggi dan cepat dari seorang muslim terhadap perintah dan larangan-Nya ini merupakan buah keimanannya kepada Allah SWT dan Rasul-rasul-Nya. Keimanan yang benar dan mendalam merupakan modal utama dari “istijabah”. Orang beriman yang responsive itu tidak tawar-menawar, tetapi langsung menjalankannya: “Sami’na wa atha’na” (kami siap mendengar dan patuh). Sebab, tabiat iman adalah menggerakkan sehingga lahirlah kehidupan yang penuh hikmah dan berkah.
Sesungguhnya istijabah ini sikap responsive, dalam Surah al-Ahzab ayat 36 dijelaskan bahwa tidak pantas mengaku beriman jika kemudian masih berusaha menghindar dan mencari-cari alasan dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Hindari sikap menunda-nunda amal saleh atau mencari-cari alas an, yaitu “At-taswiif”, yang merupakan kebalikan dari sikap istijabah.
Jika kita analogikan dengan kesetiaan seorang pekerja kepada atasannya diukur dengan kecepatannya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan atasan tersebut. Demikian juga dalam hubungan interaksi seorang manusia dengan Allah SWT. Dalam hubungannya ini, seorang muslim bagaikan seorang pekerja terhadap Tuannya. Bahkan Allah melebihi Tuan mana pun di permukaan bumi ini, Dia memberikan fasilitas kepada hamba-Nya dengan berbagai kenikmatan hidup yang tidak dapat dibalas dengan harga semahal apapun. Karena itu, sebagai hamba, manusia yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib sesegera mungkin merespon apa saja yang Allah Ta’ala perintahkan sekuat kemampuannya.
Dalam era modern seperti saat ini, sur’atul istijabah dalam kehidupan ummat Islam itu seakan menguap. Bisa dilihat dari jumlah peminat dalam dakwah Islam (amar ma’ruf nahi munkar), kajian ilmiah keislaman, menjadi relawan kemanusiaan ke berbagai daerah bencana atau konflik, atau aksi turu ke jalan menyuarakan kebenaran. Biasanya layar Handphone mendadak buram ketika mendapat ajakan pesan Whatsapp, dan menyiapkan jawaban tidak dengan berbagai alasan.
Padahal, berbicara tentang hajat, urusan, kepentingan. Semua diri kita ini, bahkan para Nabi dan para sahabat juga punya banyak kepentingan. Namun, Allah dan Rasul-Nya lebih utama. Lantas apa sebenarnya yang melunturkan kekuatan sur’atul istijabah itu? Seharusnya, introspeksi jiwa menjadi kebiasaan, hingga kita dapat mengevaluasi banyak hal yang ada pada diri kita.
Di momen Ramadhan ini, kita lebih dalami pemahaman dan perenungan kita terhadap Quran surah Al-Baqarah ayat 183, yang kutipan ayatnya dimulai dengan panggilan iman: “Yaa ayyuhalldziina aamanuu”. Ayat tentang puasa ini sejatinya adalah test case sejauh mana iman yang terdapat dalam diri seorang hamba merespon panggilan tersebut dengan benar-benar terhunjam dalam dada. Jadi, saatnya dari puasa ini kita perbaiki sur’atul istijabah kita tanpa sedikit pun menunda-nunda dalam ketaatan.
Wallahu a’lam bis-shawab