Selasa, 01 Rabiul Awwal 1444 H/ 27 September 2022
Dunia Islam kembali kehilangan ulama terkemuka dunia, pakar fikih dan pemikiran Islam, Dr. Yusuf Al-Qardhawi meninggal pada hari Senin kemarin di usia 96 tahun. Doa mengalir dari banyak tokoh Islam negeri ini, salah satunya dari politikus partai Gerindra yang juga anggota DPR RI Fadli Zon. Ia menyampaikan rasa dukanya atas meninggalnya Yusuf al-Qaradawi. Ia juga mengatakan, umat telah kehilangan ulama besar.
Yusuf al-Qaradawi lahir pada tanggal 9 September 1926 di salah satu desa di Mesir bernama Saft Turab, Kabupaten Mahallah Kubra, Provinsi Al-Gharbiyah. Saft Turab adalah sebuah desa tua, tempat di mana sahabat terakhir Nabi Muhammad ﷺ dimakamkan di di Mesir, yaitu Sahabat Abdullah bin Al-Harits bin Juz Al-Zubaidi.
Semasa kecilnya Yusuf al-Qaradawi menghapal Alquran, dan menguasai hukum-hukum tajwid. Menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sekolah Ma’had Al-Azhar Al-Sharif. Pada sekolah tingkat SMA ia berada di peringkat kedua nasional Republik Mesir, walaupun pada masa itu, saat sekolah SMA ia kerap ditangkap. Yusuf al-Qaradawi kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar, dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1952-1953 M, dan menduduki peringkat pertama di antara seratus delapan puluh rekannya.
Pada tahun 1960, ia memperoleh pendidikan tinggi pendahuluan setara dengan gelar master di Departemen Ilmu Al-Qur’an dan Sunnah dari Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhar. Lalu tahun 1973, ia memperoleh gelar doktor (PhD) dengan predikat cumlaude di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, dengan disertasi tentang: “Zakat dan dampaknya terhadap solusi permasalahan sosial.”
Di masa mudanya Ia bertemu dengan pendiri Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna. Tulisan-tulisan Al-Banna mempengaruhi dan membentuk pemikiran politik dan agama Al Qaradawi selama bertahun-tahun berikutnya. Namun, lalu Ikhwanul dianggap berbahaya oleh Mesir sejak 1940-an, bahkan disebut organisasi teroris oleh banyak negara di akhir abad ini. Sebagai seorang pemuda, Al Qaradawi menghadiri pertemuan dan ceramah Ikhwanul, dan bergabung dengan sayap pemudanya pada usia 14 tahun setelah bertemu Al-Banna.
Dia dipenjara pada masa pemerintahan Raja Farouq pada 1949, dan tiga kali di bawah Gamal Abdel Nasser. Alasannya karena merencanakan upaya pembunuhan yang gagal terhadap presiden pada 1954, berkhutbah menentang kehadiran komando Inggris di Mesir, dan untuk aktivitas politik Islam yang meningkat.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi sempat bekerja selama beberapa periode sebagai khatib dan pengajar di masjid-masjid di Mesir, kemudian menjadi pengawas Lembaga – Institut Imam yang ada di bawah Kementerian Wakaf Mesir. Setelah itu, ia dipindahkan ke Administrasi Umum Kebudayaan Islam Al-Azhar Al-Sharif untuk mengawasi penerbitan dan bekerja di Kantor eksutif Departemen Dakwah dan Bimbingan Al-Azhar.
Pada tahun 1961, ia diperbantukan ke Negara Qatar sebagai dekan lembaga keagamaan Sekolah Menengah, ia pun bekerja mengembangkan, dan menguatkan sekolah-sekolah di Qatar, dengan menggabungkan dua konsep yang lama dan baru – Al-Qadim An-Nafi’wa al-Hadits As-Shalih. Tahun 1441 H, Ia dianugerahi Penghargaan oleh Bank Pembangunan Islam dalam bidang Ekonomi Islam. Ia pun menerima Penghargaan Internasional Raja Faisal dalam Studi Islam. Ia juga menerima Penghargaan Pemberian Ilmiah Terhormat dari Presiden Universitas Islam Internasional di Malaysia tahun 1996 M. Ia juga dianugerahi Penghargaan Sultan Hassanal Bolkiah (Sultan Brunei) dalam bidang Fiqih Islam tahun 1997 M.
Mengutip dari Al Arabiya, semasa hidupnya, Yusuf Al Qaradawi telah memilih tidak menjadi pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin, meski ada yang beranggapan ia tetap menjadi tokoh berpengaruh di dalamnya. Ide-idenya mulai dikenal di Qatar, bahkan kontroversial. Hingga kemudian berkembang dan membuat cabang-cabang organisasi di berbagai negara.
Selama beberapa dekade, Qaradawi hadir di perpustakaan dan forum yang didukungnya dengan penampilan televisi melalui programnya, “Syariah dan Kehidupan”, di Aljazirah. Menurut Matthew Levitt, mantan pejabat kontraterorisme di FBI, Qaradawi dituduh sebagai salah satu tokoh paling populer di sayap ekstremis Ikhwanul Muslimin. Hingga pada 2003, Qaradawi mengeluarkan pernyataan kontroversial yang mengatakan Islam akan kembali ke Eropa dan membolehkan aksi bom bunuh diri untuk melawan kedzaliman.
Almarhum juga masuk daftar hitam di banyak negara Arab dan Eropa dan Amerika Serikat. Dia juga dinyatakan tidak diinginkan di Tunisia dan Aljazair pada beberapa waktu. Kemudian Suriah, Irak, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Sebuah dokumen intelijen Amerika Serikat memperingatkan peran Qaradawi di jajaran organisasi, dan mencatat bahwa dia memiliki dampak yang besar meskipun kepergiannya dari Mesir dan telah tinggal di Doha selama beberapa dekade.
Wallahu a’lam bis shawaab