Kamis, 26 Shafar 1444 H/ 22 September 2022
Artikel Hidayatullah.com, Oleh: Arif Munandar Riswanto
Di awal tahun 90-an, pemikir besar Tanah Melayu, Prof. Muhammad Naquib al-Attas menulis kata pengantar untuk karyanya yang berjudul ‘Prolegomena to the Metaphysics of Islam’. Dan sepertinya relevan dengan kondisi ummat Islam saat ini. Berikut ini petikannya;
Disintegrasi adab, yang merupakan akibat dari korupsi pengetahuan, menciptakan situasi di mana para pemimpin palsu di semua bidang kehidupan muncul; karena itu tidak hanya menyiratkan korupsi pengetahuan, tetapi juga berarti hilangnya kapasitas dan kemampuan untuk mengenali dan mengakui pemimpin sejati. Karena anarki intelektual yang mencirikan situasi ini, rakyat biasa menjadi penentu keputusan intelektual dan diangkat ke tingkat otoritas dalam masalah pengetahuan. Definisi otentik menjadi dibatalkan, dan sebagai gantinya kita ditinggalkan dengan kata-kata hampa dan slogan-slogan samar sebagai konsep yang mendalam.
Dalam kutipan di atas, ada istilah menarik yang digunakan oleh Prof. al-Attas untuk menggambarkan situasi umat Islam zaman sekarang, yaitu anarki intelektual (intellectual anarchy). Anarki sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang berarti tanpa pemimpin, tanpa otoritas resmi, tidak memiliki aturan, tidak teratur, kekacauan, ketakutan, dan nihilisme yang menafikan nilai-nilai moral. Sedangkan istilah intelektual berasal dari bahasa Latin, yang berarti pemahaman dan kecerdasan. Jadi, anarki intelektual yang disebut Prof. al-Attas adalah kondisi kekacauan, ketidakteraturan, dan tanpa otoritas dalam ilmu.
Anarki intelektual yang disebut Prof. al-Attas menunjukkan bahwa umat Islam pada saat sekarang sedang mengalami kekacauan ilmu. Dari kutipannya disebutkan bahwa salah satu penyebab anarki intelektual adalah ketika masyarakat awam (common people) menjadi penentu hal-hal yang berkaitan dengan ilmu. Fenomena yang disebutkan oleh Prof. al-Attas semakin jelas terlihat dengan kemunculan media sosial di tengah-tengah kehidupan kita.
Di media sosial, seluruh manusia duduk setara—baik orang baik, orang jahat, pejabat, ilmuwan, anak kecil, orang dewasa, dan lain lain. Dengan media sosial juga kita bisa mendengar, membaca, menonton, dan menyebarkan segala hal yang kita mau. Padahal, tidak semua hal bisa didengar, dibaca, ditonton, dan disebarkan. Dan itu bukan hanya berlaku untuk hal-hal buruk, hal-hal yang baik pun tidak mesti bisa kita lihat, baca, tonton, dan sebarkan semua. Anak kecil yang baru belajar membaca, misalnya, belum tepat waktunya untuk mendengar isu-isu pemahaman kalam dalam agama.
Di dalam Risalah untuk Kaum Muslimin, Prof. al-Attas telah menyebutkan bahwa sikap menyamaratakan adalah salah satu bukti keruntuhan adab. Dan ini betul-betul terjadi di zaman media sosial. Munculnya istilah-istilah baru seperti netizen, influencer, selebgram, buzzer, viral, dan trending topic menunjukkan fenomena penyamarataan. Dalam iklim demokrasi yang menyamaratakan segala hal, fenomena tersebut sebetulnya sudah hidup dengan subur. Tapi, ia kemudian tumbuh dengan lebih ganas lagi dengan munculnya media sosial di era yang orang Barat sebut sebagai post-truth. Penyamarataan dalam pesta demokrasi untuk mendapatkan suara terbanyak dan kekukasaan politik mungkin bermanfaat, tapi sikap penyamarataan dalam masalah ilmu dan otoritas ilmu justru akan merusak.
Jika telah menjadi penentu hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, masyarakat awam akan diangkat ke tingkat pemegang otoritas yang tinggi. Ini yang kemudian sering disebut oleh Prof. Wan dalam berbagai kuliahnya sebagai krisis otoritas (the crisis of authority). Munculnya fenomena berita palsu (hoax) yang viral melalui media sosial adalah salah satu bukti krisis otoritas. Namun sayangnya, krisis otoritas ini justru menyerang ilmu-ilmu agama. Ketika kita berbicara ilmu-ilmu selain ilmu agama, otoritas masih dipegang kukuh. Bahkan, dalam bidang-bidang olahraga, hiburan, seni peran dan lainnya. Otoritas masih terlihat dengan jelas. Namun, ketika berbicara agama, semua orang berhak berbicara dan memberikan pendapat tanpa mengukur pendapatnya dengan ilmu. Dengan wasilah media sosial, orang-orang yang tidak belajar ilmu Islam pun bisa dengan bebas membuat video dan konten tentang Islam yang justru memecah belah masyakarat Muslim.
Padahal, untuk menjadi ilmuwan Muslim (ulama) yang ilmunya mengakar sangat dalam, perlu proses panjang yang harus ditempuh. Ulama-ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam al-Bukhāri, Imam al-Ghazāli, dan lain-lain tidak lahir dari proses yang instant. Seseorang yang baru lulus belajar dari salah satu perguruan tinggi di Timur Tengah, banyak jadwal ceramah, dan sering menulis status di media sosial hingga memiliki banyak follower tidak serta merta bisa disebut ulama untuk kemudian memegang otoritas di dalam ilmu agama.
Prof. al-Attas kemudian menyebut bahwa keruntuhan adab yang melanda kehidupan umat Islam akan mengakibatkan lahirnya pemimpin-pemimpin palsu, yaitu orang-orang yang tidak memiliki nilai moral, intelektual dan spiritual yang baik. Fenomena munculnya pemimpin-pemimpin palsu yang lahir di tengah-tengah umat bukan hanya fenomena yang terjadi pada zaman sekarang, pada zaman dahulu pun umat Islam pernah merasakan kelahiran pemimpin-pemimpin palsu di tengah-tengah kehidupan mereka. Jika itu terjadi, akan mengakibatkan kezaliman, chaos, brutality, dan anarki di tengah-tengah kehidupan.
Wallahu a’lam bis shawaab