Kolom Republika, Oleh: Muhlisin Ibnu Muhtarom (akademisi)
SALAH satu mata pelajaran favorit di pondok pesantren modern adalah Mahfudzat. Pelajaran yang berisi sya’ir indah pilihan dari Hadîts Nabi, Atsar Shahâbah dan Aqwâl ‘Ulama ini memang sangat menginspirasi. Tidak berlebihan jika salah satu tujuannya adalah menanamkan filosofi kehidupan. Termasuk mengritisi kepemimpinan atau leadership.
Dalam sebuah sesi perkuliahan Guru Besar UIN Jakarta, Prof. Abuddin Nata, pernah menyampaikan pencerahan bahwa berbagai macam bentuk negara dan sistem pemerintahannya yang ada di dunia, antara lain; republik, kerajaan, hingga semi kerajaan adalah pilihan metode (wasîlah) adapun maksud dan tujuan utama adalah menyejahterakan warganya secara lahir bathin. Indonesia telah memilih Republik sebagai bentuk negara dengan Demokrasi sebagai sistem memilih pemimpinnya. Syair berikut ini, melatih critical thinking dengan mengritisi situasi dan kondisi yang jamak terjadi di negeri yang kita cintai ini.
“(Wahai para pemimpin), engkau menghidupkan harapanku dan aku mematikannya, dalam rentang waktu yang lama aku tidak bertemu saudara-saudaraku”
Dalam pemilihan demokrasi, dimulai dari PILKADES, PILBUP, PILKADA hingga PILPRES, para kandidat cenderung menyampaikan janji manis seperti pendidikan gratis, makan gratis, kesehatan menjajikan, lapangan kerja semakin terbuka, infrastruktur modern dan lain sebagainya, dan memang hal-hal tersebut sejatinya adalah dambaan setiap warga.
Namun di sisi lain, diakui maupun tidak, pelaksanaan pemilu dengan multipartai juga menyisakan persoalan, misalnya adanya satu anggota keluarga yang berselisih dengan anggota keluarga lainnya gegara beda pilihan dan jagoan.
“Aku begitu ikhlas dan membela kehormatan mereka dengan fisik dan lisanku”
Para supporter, rakyat kebanyakan sebagai simpatisan, begitu luar bisa menunjukkan kecintaan dan dukungan kepada partai dan atau jagoan pilihannya. Lihat saja, betapa mereka rela berpanas-panasan atau kehujanan ketika menghadiri kampanye, memakai aneka atribut dukungan, sebagian pria merelakan mahkota di atas kepalanya dicukur dengan menyisakan nomer urut tertentu, bahkan jika ada yang menjelekkan atau merendahkan partai dan atau jagoan pilihannya maka serta merta akan dibela dengan aneka rangkaian kata walau ia bukan pujangga, adu mulut dan atau perang kata di media sosial yang ada.
“Aku mencintai mereka dengan tulus, dan manakala mereka telah hidup dengan mudah (karena kekuasaannya) ternyata mereka segera melupakanku”
Singkat kata pendek cerita, begitu luar biasa cinta, pengorbanan serta dukungan rakyat kepada kandidat pejabat. Namun, begitu mereka terpilih jadi pejabat serta merta tidak sedikit yang lupa dengan rakyat. Kalau guyonan kalangan santri: dulu sebelum menjabat pada saat kampanye rajin silaturrahmi dan tekun baca ayat Kursi, tetapi begitu dapat ‘kursi’, jadinya lupa ayat.
“Cukuplah bagiku (kini) di dunia ini teman sejati yang kepada selainnya aku tiada memerlukannya lagi”
Berdasarkan pengalaman empiris tersebut maka bisa disarikan bahwa dalam hidup ini, agar kita mau dan mampu mengejawantahkan dua tugas utama nan mulia: ‘Abdullah (mengabdi kepada Allah SWT) dan Khalifatullah Fil Ardhi (menebar kebermanfaatan bagi semesta sesuai potensi), yang penting adalah memiliki teman sejati untuk bersinergi dalam kebenaran, kebaikan dan kesabaran.
Bukan menang atau kalah tetapi terpilih atau tidak terpilih. Yang terpilih belum tentu yang terbaik, namun harus diterima sebagai penghormatan kepada pemilih mayoritas sesama warga negara. Beginilah mestinya sikap dewasa dalam demokrasi kita. Jika ada pembaca mulia yang mengalami ‘nasib’ seperti penulis, bahwa sejak menggunakan hak konstitusional sebagai WNI dalam Pilpres 2004 hingga di 2024 ini, calon Presiden yang diandalkan dan dipilihnya ternyata tidak juga terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Maka, sya’ir berikut ini bisa menjadi jawabannya.
“Milikilah ilmu dan harta dalam hidup ini, niscaya anda akan menjadi pemimpin manusia, karena manusia itu terbagi menjadi golongan khusus dan golongan umum. Golongan khusus akan memuliakan anda karena ilmu dan golongan awam kebanyakan akan memuliakan anda karena harta”
Suka atau tidak suka, diakui atau tidak diakui, inilah fakta demokrasi di dunia bahwa keterpilihan seorang pemimpin tertinggi didasarkan pada banyaknya suara yang didapatkan dalam Pemilihan Umum. Dengan pola satu warga satu suara, one man one vote, maka tidak ada bedanya antara suara orang pintar, bahkan Guru Besar dan suara orang yang tidak pernah belajar. Sama saja antara suara orang kaya atau suara orang miskin, suara orang kota dan suara orang desa. Bahkan, tidak berefek sama-sekali perbedaan antara suara orang shaleh alim dan suara orang licik dzalim.
Lebih mengerikan lagi, tidak ada bedanya antara suara yang diperoleh dengan cara jujur dan suara yang diperoleh dengan curang. Sebuah pertanyaan mendasar bagi setiap warga adalah dalam memilih pemimpin tertinggi negeri ini, hanya sekedar urusan ‘menang atau kalah’, atau masih mau dan mampu menjaga idealisme terkait standar ‘benar dan salah’?
Jadi, tetaplah bahagia dan bersyukur menjadi bagian dari kaum khusus, karena kaum elit memang jumlahnya alit (kecil) dan sedikit.
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb