Soroti Kasus HRS, Guru Besar FH Undip: Penegakan Hukum di Indonesia Sekarat
Cibubur, Rasilnews – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip), Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum menyoroti kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dipidana akibat terjerat kasus pelanggaran protokol kesehatan dan penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran. Suteki menilai, vonis dua tahun penjara terlalu berlebihan untuk kesalahan HRS, sehingga dirinya menyebut kondisi penegakan hukum di Indonesia dalam keadaan sekarat.
“Jika kita bercermin pada kondisi penegakan hukum akhir-akhir ini, saya melihat proses hukum di tahun 2021 mungkin juga di tahun 2022 ini masih berjalan dying atau sekarat sehingga terkesan ugal ugalan. Dalam hal ini, kasus HRS ini menyisakan ketidakadilan,” ujar Suteki dalam program acara Indonesia Leader Talk (ILT) pada Jumat (18/2) malam di kanal YouTube Rasil TV.
“Di bidang hukum, kita patut bertanya mengapa vonis yang dijatuhkan HRS ini relatif lebih panjang dan lebih berat dibanding ukuran kasus yang dihadapinya,” sambungnya.
Pria yang juga dikenal sebagai pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila itu membahas tuduhan penyebab keonaran yang ditujukan pada HRS. Menurut Suteki, maksud dari keonaran yang tertulis dalam undang-undang sebenarnya ialah keonaran yang menimbulkan huru hara hingga pertikaian atau pembunuhan, bukan sekadar kegaduhan di media sosial.
Diketahui pendiri Front Pembela Islam (FPI) itu didakwa melanggar Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 Tahun 1946. Pasal itu berbunyi, ‘Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun’.
“Padahal HRS ini hanya melakukan pelanggaran prokes dan tuduhan penyebaran berita bohong hasil pemeriksaan tes usab Covid-19 di Rumah Sakit Ummi, Kota Bogor, Jawa Barat pada 26 November 2020 sehingga menimbulkan keonaran. Ternyata kalau kita kaji lebih detail keonaran yang dimaksud bukan keonaran di media sosial tapi yang benar-benar terjadi perang, huru hara, kemudian saling bertikai hingga membunuh,” jelas Suteki dalam acara yang berjudul ‘Apa Kabar Habibana?’ itu.
Dirinya menilai, vonis penjara yang dijatuhkan kepada HRS serta beberapa tokoh agama Islam lainnya seperti kasus yang menjerat Habib Bahar bin Smith adalah bukti adanya ‘kriminalisasi ulama’ yang telah, sedang, dan masih terus terjadi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
“Belum lagi persoalan persidangan kasus terbunuhnya enam Laskar FPI ada yang menilai bahwa peradilannya kayak main-main, jadi orang-orang mengatakan itu dilakukan secara dagelan. Dari sini kita melihat dua hal, perkara yang kecil dibesarkan bahkan terkesan dipolitisasi. Kedua, perkara yang besar dikecilkan,” lanjut Suteki.
Diketahui, HRS divonis dua tahun penjara, sejak Desember 2020 dan diperkirakan akan bebas pada Desember 2022.
Di sisi lain, Suteki juga menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD pada 31 Desember 2021 lalu yang menyebut bahwa bidang yang ia pimpin menjadi bidang terbaik karena berhasil menghilangkan demonstrasi yang diiringi teriakan takbir dan persekusi.
“Pak Mahfud MD tanggal 31 desember 2021 beliau melanjutkan begini, tapi demo-demo dengan teriakan takbir dan persekusi tidak ada lagi. Saya kira ukuran yang menyatakan kondusif atau tidaknya itu hanya karena teriakan takbir kemudian ada pakaian gamis itu kan tidak pas. Saya juga menyoroti pernyataan pejabat lain yang mengatakan FPI bubar rakyat senang,” kata Suketi.
Selain Guru Besar FH Undip Suteki, dalam program acara ILT yang juga dipancar luaskan melalui siaran Radio Silaturahmi AM 720Khz, serta kanal YouTube PKS TV itu juga hadir sebagai narasumber Guru dan Pengamat Politik Rocky Gerung, Politisi PKS Mardani Ali Sera, Aktivis Sosial Lieus Sungkharisma, serta Pengacara Aziz Yanuar.