Selasa, 13 Zulqaidah 1445 H/ 21 Mei 2024
Presiden Iran Ebrahim Raisi yang dianggap sebagai penerus Ayatullah Ali Khamenei -pemimpin otoritas tertinggi di Iran- wafat dalam insiden helikopter jatuh pada Ahad kemarin. Helikopter yang jatuh tersebut merupakan satu dari tiga rombongan helikopter pemerintah yang digunakan untuk transportasi ke Azerbaijan. Perjalanan Raisi dilakukan untuk meresmikan bendungan baru Qiz-Qalasi yang merupakan buah kerja sama Iran dan Azerbaijan. Nahasnya, pada perjalanan pulang helikopter yang ditumpangi Raisi mengalami kecelakaan.
Kematian tak terduga pemimpin Iran yang berpengaruh ini akan memicu perebutan kekuasaan besar di negara Timur Tengah. Hal ini juga memicu spekulasi tentang kemungkinan keterlibatan negara asing atau musuh dalam negeri di peristiwa kecelakaan tersebut. Muncul banyak pemberitaan yang menanyakan apakah Mossad ikut bermain dalam peristiwa ini.
Majalah berita dan internasional terkemuka Inggris The Economist mengatakan bahwa keterlibatan Israel sepertinya tidak dapat dikesampingkan dalam kejadian ini karena kedua negara telah lama menjadi musuh. Bulan lalu, kedua negara hampir berada di ambang perang skala penuh setelah Israel membunuh seorang jenderal Iran di Suriah dan Teheran menanggapinya dengan meluncurkan serangan rudal yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel. Laporan The Economist tersebut menyebutkan bahwa kelompok mata-mata Israel Mossad memiliki sejarah panjang dalam membunuh musuh di belahan dunia, termasuk di Iran. Apalagi terdapat fakta, Israel telah membunuh beberapa ilmuwan nuklir terkemuka di Iran selama bertahun-tahun. Namun, dikatakan juga bahwa kecil kemungkinan Israel akan melakukan pembunuhan terhadap presiden Iran karena hal itu akan memicu konsekuensi yang sangat besar.
Melansir dari situs web Raisi, Ebrahim Raisi memiliki nama lengkap Ayatollah Seyyed Ebrahim Raisi. Ia lahir di Mashhad Desember 1339 H. Ayahnya yang bernama Hojjat Al-Islam Seyyed Haji Rais al-Sadati meninggal dunia saat Raisi berusia lima tahun. Ia lalu diasuh oleh ibunya, Seyida Asmat Khodadad Hosseini. Raisi pernah belajar di Seminari Qom (pusat pendidikan ulama islam) terbesar di Iran yang didirikan sejak tahun 1922. Pada tahun 1983, Raisi menikah dengan Dr. Jamila Sadat Alam El Hadi dan dikaruniai dua orang putri.
Karier politik Ebrahim Raisi dimulai sebagai jaksa di Kota Karaj dan Hamadan pada awal tahun 1980. Kariernya di kancah hukum dan pemerintahan terus melesat. Pada 1988, Raisi menjadi salah satu dari empat anggota Komite Hukuman Mati Teheran yang memutuskan eksekusi massal bagi ribuan tahanan politik. Sebagai politisi, Raisi pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2017. Namun, ia kalah dari Hassan Rouhani. Kendati menuai kekalahan, karier politik Raisi tidak redup. Pada tahun 2019, ia diangkat sebagai Ketua Kehakiman oleh Ayatullah Ali Khamenei dan masih menjabat hingga saat ini meskipun ia telah menjabat sebagai presiden terpilih sejak 2021.
Seperti Ali Khamenei, Ebrahim Raisi terkenal sebagai penantang Amerika Serikat dan Israel. Diketahui, Iran menyatakan kedua negara itu sebagai musuh bebuyutannya. Raisi sempat mengkritik pendahulunya, Hassan Rouhani, yang lebih moderat terhadap Barat dan sempat menekan perjanjian nuklir tahun 2015 dengan Amerika Serikat. Raisi pun mengamini saat Washington menarik diri dari perjanjian itu pada 2018, di era kepemimpinan Donald Trump.
Terhadap Israel, Raisi mengkritik keras negeri Zionis itu setelah perang Gaza pecah pada tanggal 7 Oktober. Ia mengutuk serangan Israel ke Gaza dan memberi restu kepada dua proksi terbesar Teheran, Houthi di Yaman dan Hizbullah di Lebanon untuk melakukan serangan militer ke Israel. Pada hari sebelum helikopternya hilang kontak, Raisi membuat pernyataan kembali yang menekankan dukungan Iran terhadap Palestina. Ia juga menggarisbawahi bahwa “Palestina adalah isu pertama dunia Muslim”.
Sebenarnya di September 2023, Raisi sempat membuat heboh PBB. Kala itu ia mencium Al-Quran di depan Majelis Umum kala sidang tengah berlangsung. Kala itu ia melontarkan kritikan ke Barat soal Islamophobia. Ia memegang tinggi-tinggi salinan Al-Quran, mengecam kasus penodaan terhadap kitab suci itu seraya menyinggung pembakaran yang dilakukan di beberapa negara Eropa. “Dunia sedang mengalami perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, apakah ada yang lebih baik dari firman Tuhan yang dapat mendefinisikan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya memuji kitab Al-Quran.
Sementara itu, di dalam negeri, Raisi menggambarkan dirinya sebagai pembela masyarakat miskin dalam pemberantasan korupsi. Namun dirinya sempat menerima bola panas setelah mengumumkan langkah-langkah penghematan yang menyebabkan kenaikan tajam harga beberapa bahan pokok. Bagi kelompok oposisi Iran, Raisi mengingatkan akan eksekusi massal terhadap kaum Marxis komunis dan kelompok sayap kiri lainnya pada tahun 1988, ketika Raisi menjadi wakil jaksa di Pengadilan Revolusi di Teheran. Ketika ditanya pada tahun 2018 dan tahun 2020 tentang eksekusi tersebut, Raisi membantah memiliki peran. Meski begitu, ia memuji perintah eksekusi yang disebutnya diturunkan Mullah Ayatollah Khomeini.
Wallahu ‘Alam Bishawwab