DI MASA kepemimpinan nabi Muhammad ﷺ, perang ekonomi yang dijalankan kaum Muslimin juga menyasar kaum Yahudi selain kaum musyrikin Mekkah. Ketika itu, kaum Yahudi menguasai sektor bisnis dan industri di Madinah. Sebagai penguasa ekonomi di Madinah, kaum Yahudi tidak segan-segan menjebak masyarakat dengan utang yang berbunga tinggi. Di samping itu, kaum Yahudi juga selalu memantik api perselisihan antara Suku Aus dan Suku Khazraj.
Bermula dari Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat di Madinah (Yatsrib) yang membuat kaum Yahudi di kota itu merasa terganggu. Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa, tiga komunitas Yahudi paling terkenal, pun kompak berusaha membendung pamor Nabi Muhammad yang mulai bersinar. Mereka memang menyepakati Piagam Madinah yang dibuat Nabi bersama warga kota itu. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka melanggar dan mengkianatinya, bahkan pada momen-momen genting, sehingga Nabi pun menghukum mereka.
Berawal ketika kaum Muslimin tiba di Madinah, Nabi Muhammad kemudian mendirikan pasar. Beliau mengajari tata krama di pasar, mendorong para sahabatnya untuk berbisnis, dan mencari rezeki yang halal. Mengetahui hal itu, kaum Yahudi Madinah gusar. Terlebih, kaum Muslimin berhasil menumbangkan perekonomian kaum Yahudi di Kota Madinah. Kaum Yahudi semakin tidak terima. Mereka menilai, Nabi Muhammad dan kaum Muslim telah menghancurkan bisnis yang selama ini mereka geluti.
Dari perang ekonomi tersebut, maka terjadi lah perang-perang terbuka antara kaum Muslim dan kaum Yahudi Madinah. Baik dalam perang ekonomi maupun perang terbuka, kaum Yahudi selalu terpuruk dan tidak pernah merasakan manisnya kemenangan. Pertempuran dan peperangan bukan suatu faktor yang paling berpengaruh terhadap keruntuhan monopoli bisnis kaum Yahudi di jazirah Arab ketika masa kenabian. Ada faktor lain yang juga berpengaruh dan berhasil meruntuhkan monopoli bisnis Yahudi dengan segala kelicikannya.
Faktor pertama adalah tidak berlakunya lagi sistem riba yang dijalankan Yahudi dalam perniagaan orang-orang Arab. Ketika datangnya Islam, perdagangan dan pinjam-meminjam dengan sistem riba diharamkan. Itulah sebabnya semua umat Islam membuang jauh-jauh racun perdagangan yang bernama riba itu. Karena riba merupakan kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas, sementara kaum Yahudi sangat lihai dalam hal ini. Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan menzalimi orang lain dan adanya unsur ketidakadilan.
Faktor kedua adalah munculnya para pedagang-pedagang unggul dari kalangan umat Islam seperti Suhai Ar Rumi, Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Khusus Abdurrahman bin Auf, ia merupakan orang Islam yang berhasil membuat banyak pebisnis Yahudi kala itu gulung tikar karena tidak dapat menyaingi kepandaiannya dalam berbisnis. Dan yang perlu diingat adalah Nabi Muhammad ﷺ sendiri merupakan seorang pebisnis yang andal pada saat sebelum diangkat menjadi rasul. Namun kemudian, beliau memutuskan untuk lebih berkonsentrasi dalam memimpin dan membina umat.
Setelah Nabi Muhammad ﷺ wafat, pemerintahan Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Khilafah Islamiyah diamanahkan kepada umat Islam. Masa awal kekhilafah Islam yang disebut ‘khilafah ‘ala minhajjin nubuwwah’ dipegang oleh empat Sahabat nabi Muhammad yang terkenal, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiallahuanhum. Masa pemerintahan mereka disebut Khulafaur Rasyidin.
Pada masa kekhilafahan ini, kaum Yahudi yang berada dalam perlindungan pemerintahan Islam ketika itu sangat dilindungi bahkan diberikan keleluasaan dalam bekerja dan berbisnis. Mereka berbisnis seperti halnya umat Islam lainnya.
Pada generasi selanjutnya, pemerintah Islam cenderung pada sistem kerajaan dan kesultanan. Sistem kekhilafahan ‘ala minhajjin nubuwwah dirubah. Namun Kehidupan kaum Yahudi pada masa kesultanan (Kerajaan) pun tak berbeda. Mereka hidup dan melakukan aktivitas bisnis dalam perlindungan kesultanan Islam. Mereka tidak berani berpikir untuk menentang, apalagi melakukan pemberontakan. Kecuali pada masa pemerintahan kesultanan Islam terakhir, yakni kondisi pemerintahan Islam pada saat itu benar-benar sangat lemah. Akibat dari perpecahan yang terjadi di dalam tubuh kaum muslimin yang tercerai berai.
Wallāhu ‘Alam bis-shawāb