Riwayat Ketupat, Simbol Pemersatu Yang Dulu Tak Identik dengan Lebaran
Jakarta, Rasilnews – Lebaran identik dengan ketupat, makanan khas Indonesia dan Malaysia yang terbuat dari beras dalam pembungkus berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman daun kelapa muda (janur). Beras yang dibungkus daun kelapa muda ini kemudian direbus hingga matang.
Meski selalu disajikan saat Idul Fitri di Indonesia, tidak banyak yang tahu ketupat memiliki sejarah dan makna yang menarik. Menurut Hermanus Johannes de Graaf, sejarawan Belanda yang khusus menulis sejarah Jawa, ketupat diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Untuk memperkenalkan Islam, Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi, yaitu setelah Ramadan usai dan Idul Fitri dirayakan, masyarakat setempat diajak menganyam ketupat dari daun kelapa muda lalu disii dengan beras. Meski pendapat itu sangat populer, sebenarnya masyarakat Jawa telah mengenal hidangan bernama ketupat atau tipat sebelum datangnya Islam.
Sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia, terutama di Jawa dan Bali, kerap menggantungkan ketupat di depan pintu rumah sebagai jimat. Ketupat juga merupakan bentuk rasa syukur kepada Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan dalam mitologi Hindu. Setelah masuknya Islam, Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi Lebaran dan ketupat diangkat dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Sri.
Akan tetapi, pada tradisi Lebaran, ketupat tidak lagi digunakan untuk memuja Dewi Sri melainkan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Penggunaan ketupat sebagai hidangan perayaan tidak hanya di Pulau Jawa. Di daerah-daerah lain terdapat tradisi unik yang dinamakan perang ketupat.
Di Pulau Bangka, perang ketupat dilakukan saat memasuki Tahun Baru Islam atau 1 Muharam. Di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat bertujuan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan panen dan menandai saat mulai menggarap sawah.
Berdasarkan penelitian dari De Graaf dalam buku Malay Annual, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.
Ketupat bukan sekadar makanan yang disajikan untuk menjamu para tamu saat Idul Fitri maupun merayakan genapnya enam hari berpuasa sunah pada bulan Syawal. Ketupat memiliki makna yang sangat dalam. Nama ketupat atau kupat merupakan singkatan dari bahasa Jawa ngaku lepat (mengaku salah), yang disimbolkan dengan anyaman janur kuning yang berisi beras lalu dimasak.
Nasi dianggap melambangkan nafsu manusia. Nasi yang dililit dengan janur memiliki arti manusia harus mampu menahan hawa nafsu dunia dengan hati nurani. Selain itu, bagian ketupat lainnya juga memiliki makna tersendiri. Anyaman janur menggambarkan kesalahan manusia, kemudian bentuk segi empat memiliki makna kemenangan umat Islam setelah menjalani puasa selama satu bulan.
Butiran beras yang dibungkus dalam janur juga merupakan simbol kebersamaan dan kemakmuran. Penggunaan janur sebagai bungkus pun memiliki makna tersembunyi. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata jaa a al-nur, bermakna telah datang cahaya. Sedangkan masyarakat Jawa mengartikan janur dengan sejatine nur (cahaya). Dalam arti lebih luas berarti keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan cahaya (iman) selama Ramadan.
Anyaman janur yang saling melekat merupakan ajakan untuk melekatkan tali silaturahmi dan mempererat persaudaraan tanpa melihat perbedaan kelas sosial. Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk segi empat ketupat memiliki makna kiblat papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama, Timur, Barat, Selatan, dan Utara. Artinya, ke arah mana pun manusia pergi ia tidak boleh melupakan pancer (arah) kiblat.
Ketupat kerap disajikan dengan kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan, melambangkan emas dan keberuntungan dalam tradisi Cina. Selain itu, santan atau dalam bahasa Jawa disebut santen dapat memiliki makna nyuwun ngapunten, yang berarti saya memohon maaf. (Tempo.co)