Bekasi, Rasilnews – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Heru Susetyo menyoroti Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang masuk dalam daftar tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 202 di dunia versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).
Heru mengatakan dalam siaran Topik Berita Radio Silaturahim (Rasil) 729 AM edisi Kamis (2/1/2025), faktanya pemberantasan korupsi di masa kepemimpinan Jokowi memang melemah.
Menurutnya, laporan yang dirilis OCCRP tersebut memalukan sehingga harus dijadikan sebagai bahan evaluasi.
“Ini harusnya menjadi intropeksi, menjadi evaluasi karena ya terus terang memalukan dan membuat kita prihatin. Mungkin datanya dari OCCRP sebagian benar, sebagian tidak benar tapi yang jelas faktanya memang pemberantasan korupsi di masa beliau (Jokowi) memang melemah ditandai dengan melemahnya UU KPK, ada tebang pilih penindakan para koruptor di Indonesia, intervensi yang begitu besar dari kekuasaan. Indeks korupsi kita memang semakin turun, kita semakin korup. Ini sudah kenyataan,” kata Heru.
“Kita mungkin bisa berdebat soal metodologi benar atau salah, layak atau tidak beliau masuk nominasi itu atau dapat predikat itu. Tapi faktanya, kita memang memburuk di masa beliau. Skor transparansi indeks korupsi kita terus menurun. Ini lampu merah,” tegasnya.
Heru menilai, pernyataan Presiden Prabowo soal pengampunan bagi para koruptor serta Harvey Mois yang mendapat hukuman vonis rendah meski telah merugikan negara Rp 300 triliun, membuat kepercayaan publik semakin berkurang.
“Kasus terakhir walaupun terjadi di masa Pak Prabowo terkait dengan amnesti untuk para koruptor, pengampunan untuk para koruptor, terkait dengan timah yang melibatkan Harvey Moeis dan istrinya yang artis dan segala macam dengan vonis yang rendah membuat kepercayaan publik semakin berkurang kepada penegak hukum maupun pihak eksekutif,” ucapnya.
Saat ditanya apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengadili Jokowi, Heru menjawab dengan mempertanyakan keberanian lembaga penegak hukum untuk melakukan hal demikian.
“Secara hukum acara, bisa-bisa saja memproses Pak Jokowi karena beliau bukan presiden lagi meskipun anaknya jadi wapres saat ini. Artinya, sebenarnya beliau tidak punya kekebalan hukum. Cuma masalahnya, berani tidak? Karena ini kaitannya dengan mentalitas, moralitas penegak hukum. Mereka cukup punya nyali atau tidak? Ini yang membuat saya agak sulit,” kata dia.
“Secara hukum bisa saja, tapi secara suprastruktur di luar hukum ini yang jadi tantangan. Karena yang sudah-sudah semua mantan presiden tidak ada yang bisa dikriminalisasi. Pak Soeharto sampai meninggal pun tidak pernah bisa dihadirkan di pengadilan. Jadi ini lebih ke masalah nonhukum, masalah politik dan intervensi kekuasaan,” sambungnya.
Sejalan dengan itu, Founder Institute Study Constitution Law, Muhammad Fauzi B. Tokan mengatakan, di mata hukum semua orang memiliki kedudukan yang sama. Hanya saja, pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia belum maksimal.
Apalagi, sambung Fauzi, Presiden Prabowo yang menjadi pemimpin negara saat ini memiliki kedekatan politis dengan Jokowi. Tentu hal ini akan menjadi kendala jika ingin mengadili Presiden RI ke-7 itu.
“Prinsip equality before the law menekankan bahwa setiap orang sama di depan hukum. Artinya ketika seseorang, baik sipil maupun orang yang punya jabatan apabila melanggar hukum ya harus diadili,” kata dia kepada Rasilnews, Jumat (3/1/2025).
“Akan tetapi yang menjadi kendalanya itu pada saat pelaksanaan criminal justice system (sistem peradilan pidana) yang masih belum efektif dilaksanakan. Karena keberlanjutan menjadi simbolnya Prabowo. Ya pasti sangat mungkin berpengaruh,” pungkasnya.
Sementara itu, Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tessa Mahardhika merespons rilis Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memuat nama Presiden RI ke-7 Joko Widodo dalam nominasi finalis tokoh Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024.
“KPK mempersilakan bila ada pihak-pihak yang memiliki informasi dan bukti pendukung, tentang adanya perbuatan tindak pidana korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara, untuk dapat dilaporkan menggunakan saluran dan cara yang tepat ke aparat penegak hukum,” kata Tessa dalam keterangan tertulis pada Kamis (2/1/2025).
Tessa mengatakan informasi dan bukti pendukung bisa dilaporkan ke KPK, kepolisian, ataupun kejaksaan yang memang memiliki wewenang untuk menangani tindak pidana korupsi.
Sebelumnya, Jokowi mempertanyakan perihal namanya yang masuk ke dalam daftar. “Ya terkorup itu terkorup apa? Yang dikorupsi apa? Ya dibuktikan saja,” ujar Jokowi ketika ditemui awak media di kediamannya di Sumber, Kecamatan Banjarsari, Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (31/12/2024).***
Editor: Arina Islami