(Ilustrasi) Masyarakat kelas menengah disebut sebagai kelompok paling terdampak dari kenaikan PPN pada 2025.

Bekasi, Rasilnews – Pakar Energi dan Pengamat Energi Terbarukan, Dr. Ichsan mengatakan, masyarakat kelas menengah menjadi kelompok yang paling terdampak saat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik pada tahun depan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) direncanakan meningkat menjadi 12 persen mulai Rabu, 1 Januari 2025. Kenaikan tarif tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Ichsan menyampaikan, golongan ekonomi menengah harus membayar pajak yang lebih besar tetapi pendapatan mereka tidak meningkat. Menurutnya, ini dapat memicu stres bagi masyarakat.

“Masyarakat pada golongan ekonomi bawah akan mendapat kemudahan seperti dapat bansos dari pajak yang dikumpulkan, kemudian pembebasan pajak, dan sebagainya. Golongan ekonomi atas seperti konglomerat akan mendapat kemudahan juga karena PPh Badan akan dikurangi (pada pemerintahan Prabowo). Yang paling sengsara ialah masyarakat golongan menengah, karena selain pajak bahan dinaikkan, juga PPN ditingkatkan sedangkan gajinya tidak naik. Ini meningkat angka stress. Kita bisa lihat datanya, angka stres di masyarakat meningkat,” kata Ichsan dalam siaran Topik Berita Radio silaturahim di Bekasi, Jawa barat, Kamis (17/10) pagi.

Sebagai informasi, Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana memangkas Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22 persen menjadi 20 persen.

“Kami memang menginginkan untuk suatu saat itu bisa menurunkan PPh Badan.” ungkap Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo bahwa rencana pemerintah mendatang untuk memangkas PPh Badan menjadi 20 persen.

Ichsan menjelaskan, pengusaha diuntungkan dari pemangkasan PPh Badan itu. Tetapi, di lain sisi, pengusaha dan masyarakat sebagai pelanggan akan terdampak kenaikan PPN. Di sini, masyarakatlah yang paling dirugikan.

“Yang mendapat impact dari PPN itu juga bukan hanya perusahaan tapi juga kita sebagai masyarakat yang menikmati dan sengsara dengan kenaikan PPN tersebut. Dulunya kita makan di restoran atau di tempat lainnya lebih murah, sekarang bisa lebih mahal. Karena pengusaha di restoran tersebut, kebetulan saya juga punya restoran, pengusaha akan mendapatkan tambahan (biaya dalam produksi), belum lagi retribusi daerah dan sebagainya. Mereka tidak mau membebankan kepada bisnis mereka jadi pasti dibebankan kepada customer. Di sini yang kasian adalah customer,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa Indonesia belum mempunyai peraturan pemerintah yang menentapkan standar gaji seperti Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) harus diterapkan di perusahaan.

Sehingga, sambung Ichsan, banyak perusahaan yang belum menerapkan standar gaji UMP dan UMK terhadap karyawannya. Artinya, karyawan yang mayoritas masuk dalam golongan kelas menengah kembali menjadi korban.

“Kita tidak punya standar gaji seperti di Eropa atau negara lain, keputusan itu ialah keputusan owner. Standar gaji itu ada memang tapi tidak ada peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa ini harus diberlakukan. Masih banyak beberapa perusahaan itu menggaji karyawannya di bawah UMP, itu banyak sekali. Sedangkan kita dikejar oleh pajak dan pendapatan tidak meningkat,” ujarnya.

“Ini seharusnya menjadi perhatian bahwa negara kita tidak sedang baik-baik saja, negara kita ini sedang sakit baik secara keuangan, secara mental, dan secara masa depan ini akan suram. Kalau kita punya target Indonesia Emas 2045, ini bukan Indonesia Emas tapi Indonesia Cemas karena banyak sekali problem dan tantangan ke depan,” tambah Ichsan.

Ichsan lalu menekankan bahwa pendapatan negara bukan hanya dari sektor pajak. Pemerintah seharusnya bisa membangun industri dalam negeri untuk ekspor ke mancanegara.***

By Admin

Mungkin Anda Juga Suka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *