Bekasi, Rasil News — Dalam acara Talkshow Millenial Peacemaker Forum (15/11) yang diselenggarakan oleh AWG dan UIN Syarif Hidayatullah, Dr. H. Imam Addaruqutni, MA., Ketua LHKI PP. Muhammadiyah menyampaikan perspektifnya terkait konflik Israel dan Palestina yang dikaitkan dengan salah satu buku yang berjudul “Global Paradox” yang ditulis oleh John Naisbitt.
“Inti dari buku itu kalau kita pernah baca ya itu semakin menguatnya globalisasi maka akan semakin menguat juga semangat kesukuan dan juga regimentasi Global. Semangat kesukuan itu lebih ditekankan pada bagaimana bangsa-bangsa tertentu itu lebih mengutamakan etnosentrisme, nah itu Paradox ya. Dunia pada saat ini yang terjadi paradoxnya itu antara lain adalah menguatnya sikap Israel sebagai semangat etnosentrisme itu sebagai makhluk terhebat, nomor satu yang lainnya itu ya sudahlah kelas sekian,” jelas Imam saat berbicara Talkshow Millenial Peacemaker Forum.
Dalam konteks Israel-Palestina, konflik tersebut mencerminkan kontradiksi antara globalisasi dan semangat kesukuan. Israel, sebagai negara yang pada banyak aspek dianggap sebagai simbol semangat kesukuan, menegaskan kepentingan dan identitas nasional Yahudi di tengah arus globalisasi yang seharusnya mendorong inklusivitas dan keragaman.
Buku “Global Paradox” menggaris bawahi bagaimana konflik Israel-Palestina mencerminkan perdebatan yang lebih luas mengenai bagaimana globalisasi dan semangat kesukuan dapat berselaras atau bertentangan satu sama lain. Konflik ini menjadi contoh nyata dari kontradiksi yang muncul di tengah upaya untuk mengintegrasikan keragaman identitas dalam konteks globalisasi yang semakin terhubung.
Imam juga menambahkan terkait kejahatan genosida yang perlu ditentang oleh Masyarakat. Genosida bukanlah hanya sebuah kata, tetapi sebuah kejahatan yang merenggut hak asasi manusia, martabat, dan eksistensi kelompok tertentu.
“Sehingga genosida dari semangat itu bisa dihalalakan menurut perspektifnya. Nah itu harus ditentang, ada anti kemanusiaanlah dan itu didukung oleh pusat-pusat Negara atau bangsa-bangsa yang berada dalam pusat kemodernan justru, jadi ini semakin kembali ke belakang jauh berabad silam semangat orang pada kesukuan itu atau tribalisme itu sekarang dengan nama etnosentrisme dengan juga genosida, penaklukan-penaklukan dan juga meningkatkan kategori pembasmian massal dengan meningkatnya persenjataan dunia itu yang hebat dihebat-hebatkan nanti itu akan terjadi regimentasi yang lebih mudah. Regimentasi itu atas nama demokrasi juga maka demokrasi itu juga harus antara Yahudi dan Amerika jadi ga demokratis itu tidaklah modern”, tambahnya.
Menurutnya yang terjadi saat ini merupakan paradox dari kehidupan modern. Pernyataan tersebut menyoroti paradox yang terdapat dalam pemahaman tentang sistem demokrasi di Amerika bukanlah demokrasi yang sesungguhnya.
“Amerika itu bukanlah demokrasi yang sesungguhnya. Nah ini yang sedang terjadi karena itu, ini merupakan sebuah paradox dari kehidupan modern yang justru kembali pada sikap yang beradab-adab silam kehidupan manusia ketika masih dalam kesukuan dan juga nomadik. Jadi ini yang terjadi begitu karena itu perspektif tentang apa yang terjadi di Palestina dan Israel ini katakanlah perang Israel Palestina, Israel dan Hamas khususnya Palestina dan Solidaritas Global yang semakin meningkat ini, itu ada persoalan misalnya sentimen keagamaan”, kata Imam.