Cibubur, Rasilnews – Penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Haykal. Dalam sebuah diskusi, Peneliti Perludem, Haykal menyoroti beberapa faktor yang dianggap fundamental dalam mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Salah satu aspek utama yang dikemukakan adalah ketersediaan pilihan bagi masyarakat.
Dirinya berujar bahwa masyarakat pada akhirnya melihat bahwa yang terjadi hanya kongkalikong, manipulasi antar partai politik, adanya dinasti politik, nepotisme, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat berpikir, ‘Untuk apa kami datang ke TPS dan menyampaikan suara kami, toh yang kami pilih bukanlah pilihan kami!’,” ujar Haykal dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Jumat (13/12/24). Ia menambahkan bahwa kondisi ini turut menurunkan angka partisipasi masyarakat dalam pemilu.
Haykal juga mengusulkan perlunya evaluasi jadwal terkait keserentakan pemilu dan pilkada, serta mekanisme pencalonan. “Kita harus memaksa partai politik untuk mendengarkan masyarakat. Pilihan yang ditawarkan harus mencerminkan aspirasi masyarakat, bukan hasil kongkalikong antar partai politik,” tegasnya.
Selain aspek fundamental, faktor teknis seperti jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang berkurang juga menjadi hambatan. “Jumlah TPS yang dipangkas separuh dari pemilu sebelumnya membuat jarak ke TPS semakin jauh, dari yang sebelumnya hanya 50 meter menjadi 150 atau 200 meter. Hal ini bisa membuat masyarakat enggan untuk datang,” jelas Haykal.
Lebih lanjut, Ia juga menyoroti masa kampanye yang singkat sebagai kendala dalam sosialisasi. Kondisi ini menyebabkan masyarakat kurang mendapatkan informasi yang cukup mengenai pasangan calon. “Kurangnya informasi ini berujung pada minimnya ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi,” tambahnya.
Dari sisi non-teknis, kejenuhan masyarakat akibat proses politik yang bertubi-tubi juga menjadi penyebab. “Proses politik yang intens memerlukan literasi politik yang tinggi. Namun, ketika literasi politik masih rendah, masyarakat cenderung jenuh dan enggan menggunakan hak pilihnya,” paparnya.
Meski begitu, Haykal menekankan pentingnya menjaga optimisme dalam menghadapi tantangan ini. “Kita harus melihat hal terang dalam situasi gelap. Buruknya pelaksanaan pemilu atau pilkada justru harus menjadi pelajaran untuk perbaikan ke depan,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya proses evaluasi berkelanjutan dan keterlibatan aktif masyarakat. Haykal menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh hanya menjadi ajang lima tahunan, tetapi harus menjadi bagian dari keseharian masyarakat. “Kita perlu meningkatkan kepercayaan publik dan literasi politik untuk memperkuat demokrasi,” ujar Haykal.
Haykal mengingatkan bahwa proses pemilu dan pilkada belum sepenuhnya selesai, mengingat masih ada tahapan di Mahkamah Konstitusi untuk beberapa daerah. Ia mengingatkan pentingnya pengawalan terhadap proses ini agar kepercayaan masyarakat terhadap politik tidak semakin menurun.
“Momentum ini harus dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan. Jangan sampai kita menjadi apatis karena situasi yang buruk. Sebaliknya, kita harus terus memperbaiki proses ini agar demokrasi bisa memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat,” tutup Haykal.