Bekasi, Rasilnews – Pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy mengatakan, apabila pemerintah mengkhawatirkan APBN akan membengkak imbas penambahan energi subsidi menjadi Rp 502 triliun berarti menunjukkan negara sebagai pencipta utang bukan pencipta uang.
“Dalam pertemuan kemarin jumlah subsidi kalau kenaikan harga sampai dengan Rp 405 triliun sampai dengan Rp 502 triliun, dengan demikian APBN jebol. Mestinya bukan berpikir APBN jebol. Itu kan APBN jebol kalau kita nggak punya duit,” ujar Noorsy dalam wawancara Topik Berita Radio Silaturahim 720 AM, Cibubur, Bekasi pada Selasa (16/8).
Seharusnya menurut Noorsy, untuk menjadi negara pencipta uang, mestinya pemerintah berpikir tentang produktivitas yang nilainya setara dengan uang yang diciptakan.
“Kalau dalam konstruksinya kita adalah pencipta uang bukan pencipta utang bahkan mestinya kita tidak berpikir tentang subsidi, tapi kita berpikir tentang produktivitas yang nilainya sama sebesar uang yang kita ciptakan,” sambungnya.
Namun masalahnya, kata Noorsy produktivitas di Indonesia saat ini masih tidak memadai karena kebijakan-kebijakan politiknya yang tidak produktif.
Diberitakan sebelumnya, konsumsi BBM jenis Pertalite dan solar konon akan sulit. Alasannya Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani telah meminta PT Pertamina (Persero) betul-betul mengendalikan volume bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi agar APBN tidak jebol untuk memberikan subsidi energi.
Noorsy menilai, pemerintah tidak pernah terbuka tentang hitungan biaya pokok produksi yang berkaitan dengan harga jual dan subsidi. Ia mengaku telah menyuarakan hal ini sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Kita tidak pernah terbuka hitung-hitungan biaya pokok produksi. Ini saya ribut sejak era SBY yang menaikkan harga BBM dua kali di 2005. Saya sendirian waktu itu dengan mengatakan betapa pentingnya membuka struktur biaya sehingga terbentuk harga jual yang katanya masih tetap di subsidi,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyebut pemerintah tidak melakukan transparansi tentang isi kebijakan-kebijakan yang diambil. Menurut Noorsy, seharusnya Indonesia tidak bergantung pada harga jual internasional.
“Pada saat yang sama tidak pernah ada transparansi tentang isi kebijakan. Isinya dua berapa banyak yang kita hasilkan sendiri lalu kita olah, dan berapa banyak yang kita impor. Sejak SBY dulu saya ajukan model begitu. Jadi tidak serta merta mengikuti harga internasional. Karena kalau menghitung harga internasional, dalam pandangan saya itu mengikuti kemauan Bank Dunia,” jelas Noorsy.