Penerapan PPN 12 Persen Dinilai Bebani Masyarakat, Pemerintah Disindir Pandai Bermain Kata

Jakarta, Rasilnews – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terus menuai kritik. Sejumlah pihak menilai kebijakan ini akan berdampak signifikan pada ekonomi masyarakat, terutama di tengah daya beli yang sudah menurun. Kritikan juga muncul terkait kompensasi yang dijanjikan pemerintah, yang dianggap tidak sebanding dengan beban yang akan ditanggung rakyat.

Pengamat Ekonomi dan Politik, Icshanudin Noorsy menyoroti beberapa dampak serius yang akan timbul dari kenaikan PPN ini. Menurutnya, kebijakan ini akan memicu tujuh konsekuensi ekonomi, mulai dari peningkatan pengeluaran masyarakat hingga potensi inflasi.

“Pertama, sudah pasti pengeluaran masyarakat akan meningkat, terutama dengan naiknya PPN dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Hal ini akan memicu inflasi,” ujar Icshanudin dalam Dialog Topik Berita Radio SIlaturahim yang dipandu Angga Aminudin, Rabu (19/6).

Mantan anggota Dewan periode 1997 – 1999 ini menjelaskan bahwa perpajakan sejatinya adalah mekanisme pemerintah untuk menarik kembali dana yang beredar di masyarakat. Namun, penarikan tersebut berpotensi mengurangi daya beli di tengah situasi ekonomi yang sulit.

“Penurunan daya beli akan berakibat pada inflasi yang meningkatkan harga-harga. Sekalipun barang pokok tidak dikenakan PPN, inflasi bersifat umum dan akan berdampak pada seluruh sektor,” tambahnya.

Lebih lanjut, Icshanudin juga menilai kebijakan ini akan berdampak pada sektor perbankan. Penurunan daya beli dan inflasi akan membuat perbankan bersikap hati-hati dengan menahan laju kredit.

“Dalam situasi ini, perbankan cenderung menahan diri dan bersikap prosiklikal. Akibatnya, pasar uang menilai ini sebagai sinyal negatif, sehingga nilai tukar rupiah bisa melemah,” tegasnya.

Ia juga membandingkan tarif PPN di Indonesia dengan negara-negara tetangga, seperti Filipina. Menurutnya, kenaikan PPN ke level 12 persen menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif tertinggi di Asia Tenggara.

“Vietnam saja menurunkan tarif pajaknya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Pemerintah Vietnam memahami bahwa konsumsi masyarakat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi,” ujar Ishanudin.

Sementara itu, pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah juga menganggarkan dana kompensasi sebesar Rp445,3 triliun untuk meredam dampak kebijakan tersebut. Namun, Icshanudin mempertanyakan efektivitas kompensasi tersebut.

“Walaupun pemerintah menggelontorkan Rp445 triliun, itu sebenarnya sudah menjadi tanggung jawab mereka. Masalahnya, kebijakan ini justru memicu masyarakat untuk menahan konsumsi, yang berdampak pada stagnasi ekonomi,” ujarnya.

Icshanudin juga mengkritisi logika fiskal pemerintah yang dinilai tidak konsisten. Menurutnya, pemerintah terlalu bergantung pada penerimaan pajak yang mencapai 80 persen dari total pendapatan APBN.

“Ironisnya, pendapatan pajak ini digunakan untuk membayar bunga utang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp500 triliun. Beban tersebut pada akhirnya kembali ditanggung oleh rakyat,” kata Ishanudin.

Ia pun menyindir partai-partai politik yang mendukung kebijakan ini saat berkuasa, namun kini berbalik menolaknya. Menurutnya, hal ini menunjukkan inkonsistensi dan kurangnya analisis mendalam terkait kebijakan fiskal dan makroekonomi.

“Logika fiskal seperti ini tidak logis. Pemerintah seharusnya fokus pada kesejahteraan masyarakat, bukan memicu pemiskinan struktural,” ujar mantan wartawan ini.

Bang ichsan menyoroti bahwa kebijakan PPN 12 persen masih menjadi perdebatan panas. dirinya mengingatkan semua pihak untuk memikirkan kembali dampak yang akan terjadi terutama dikalangan masyarakat, “Namun demikian publik khawatir kebijakan ini akan semakin menekan daya beli dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama bagi golongan menengah ke bawah,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *