Bekasi, Rasilnews – Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar Front Pembela Islam (FPI), Abdullah Hehamahua mengatakan polisi tak seharusnya menangkap dan memenjarakan Habib Bahar bin Smith. Sebab, Habib Bahar hanya menyampaikan berita yang telah dipublikasi secara umum.
“Sebenarnya kalau secara yuridis formal, Habib Bahar tidak bisa ditahan apalagi dipenjara, karena beliau hanya menyampaikan apa yang ada sudah dipublikasi secara umum. Keliru kalau polisi menangkap Habib Bahar,” jelas Abdullah dalam wawancara eksklusif Topik Berita Radio Silaturahim 720 AM, Jumat (8/7).
Sementara itu, ia melanjutkan, data-data tentang penembakan laskar FPI itu secara yang resmi diterbitkan oleh TP3 dan hasil penelitian TP3 telaj dikirimkan kepada presiden, wakil presiden, para menteri, serta lembaga lembaga tinggi negara seperti DPR, MPR, Komnas HAM, hingga pers di dalam dan luar negeri.
Sehingga, Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) itu mengatakan, apabila polisi ingin memperkarakan seseorang yang mempublikasikan kasus KM 50 itu, seharusnya polisi menangkap dirinya yang merupakan Ketua TP3 dan secara resmi telah mempublikasikan kasus tersebut. Hal tersebut sesuai dengan aspek dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Sehingga kalau polisi mau memperkarakan seseorang yang mempublikasikan kilometer 50, harusnya kami, karena kami resmi bertemu dengan presiden. Aspek KUHAP, polisi tidak boleh menangkap habib bahar, kalau mau tangkap harusnya orang-orang TP3 seperti saya contohnya, karena saya yang menjadi ketua TP3,” ujar Abdullah.
Diketahui, Habib Bahar bin Smith telah resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Polda Jawa Barat atas kasus penyebaran berita bohong pada Januari 2022 terkait penembakan enam laskar FPI di Tol Kilometer 50 Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020.
Abdullah melanjutkan, bahkan yang mengabarkan pertama kali peristiwa KM 50 itu adalah Polda Metro Jaya didampingi oleh Pangdam Jaya. Sehingga, harusnya Habib Bahar tidak bisa ditahan dengan tuduhan menyebarkan berita bohong.
“Polda Jakarta yang didampingi oleh Pangdam jakarta yang mengabarkan terlebih dahulu. Karena pada saat kejadian itu FPI tidak tahu di mana enam orang itu. Polda Jakarta yang mengumumkan bahwa mereka yang menembak enam orang itu dengan alasan bahwa laskar FPI melakukan perlawanan dengan senjata,” kata dia.
Selain itu, Abdullah menceritakan bahwa ada bukti penganiayaan pada jenazah laskar FPI itu.
“Kami dari TP3 mendatangi keluarga 6 orang itu, ada bukti penganiayaan, karena salah seorang bapak dari korban itu mengatakan, saat di liang lahat, masih keluar darah segar dari belakang kepalanya, padahal itu sudah beberapa hari, kemudian sudah lama di rumah sakit, dan sudah dimandikan,” ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Abdullah, seharusnya pelaku di balik kasus KM 50 diserahkan ke Komnas HAM untuk diadili. Sebab kasus itu telah memenuhi persyaratan sebagai pelanggaran ham berat. Tetapi sangat disayangkan, karena dua pelaku pembunuhan enam laskar FPI itu malah dibebaskan oleh penegak hukum.
“Tapi yang dilakukan penegak hukum adalah mengadili dua orang di pengadilan biasa, yang luar biasanya adalah mereka dibebaskan dengan alasan mereka hanya melaksanakan tugas,” tuturnya.