Cibubur, Rasilnews – Suriah, sebuah negara yang dikenal dengan keragaman agama dan etnisnya, menghadapi berbagai tantangan sejak kemerdekaannya dari Prancis pada 1946. Negara ini memiliki sejarah panjang penjajahan, konflik internal, dan intervensi asing yang telah membentuk dinamika politik dan sosialnya hingga kini.
Dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Selasa (10/12/24) pengamat Ekonomi dan Politik, Ichsanudin Nursy menyebutkan bahwa akar permasalahan di Suriah tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah penjajahan serta keberagaman demografi yang kompleks. “Rezim Bashar al-Assad berasal dari minoritas Alawi, sebuah cabang Syiah yang berbeda dengan Syiah di Iran. Di Suriah juga terdapat Sunni, Kristen, dan kelompok lainnya, menjadikannya negara yang multirasial dan multiagama,” ujarnya.
Setelah kemerdekaan, perebutan kekuasaan antar faksi politik kerap terjadi. Hafiz al-Assad, ayah Bashar al-Assad, berhasil merebut kekuasaan melalui kudeta militer dan membangun pemerintahan yang berbasis kontrol militer. Namun, konflik internal tetap menjadi momok, diperburuk oleh intervensi asing yang memanfaatkan perpecahan untuk melemahkan potensi Suriah.
“Strategi negara-negara Barat sering kali menghancurkan identitas sejarah dan Islam dengan manipulasi serta politik pecah-belah. Suriah, yang dahulu bagian dari Syam—pusat kejayaan Islam—dianggap sebagai ancaman bagi dominasi mereka di kawasan,” jelas Ichsanudin.
Intervensi di Suriah tidak hanya melibatkan negara-negara Barat, tetapi juga aktor regional seperti Rusia, Iran, Hizbullah, Turki, dan kelompok-kelompok lainnya. Dinamika konflik ini semakin kompleks dengan kehadiran kelompok seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin oleh Muhammad al-Golani.
Ichsanudin menambahkan, “HTS muncul sebagai salah satu aktor utama setelah tumbangnya rezim Bashar al-Assad. Mereka menyerukan persatuan untuk membangun Suriah sebagai milik bersama. Namun, narasi Barat yang menyebut HTS sebagai kelompok teroris menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap hasil ini.”
Konflik di Suriah menjadi representasi konflik Timur Tengah secara keseluruhan. Bukan sekadar isu demokrasi seperti yang diklaim pada masa Arab Spring, melainkan upaya sistematis untuk melemahkan potensi Islam dan mencegah persatuan di kawasan. Ichsanudin menyoroti bahwa persatuan berbasis iman telah terbukti membawa perubahan signifikan di tengah konflik berkepanjangan.
“Seperti kemenangan Hamas melawan Israel atau perjuangan Afghanistan melawan kekuatan besar, Suriah menunjukkan bahwa persatuan dan perjuangan berbasis keimanan dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi intervensi asing,” pungkas Ichsanudin.
Ichsanudin menegaskan bahwa konflik Suriah masih jauh dari kata usai, dan kompleksitasnya mencerminkan tantangan geopolitik yang terus berubah di Timur Tengah, “Bagaimana masa depan Suriah, menjadi pertanyaan yang terus ditunggu jawabannya oleh dunia,” tutupnya.