Selasa, 6 Rabiul Akhir 1444 H/ 1 November 2022
(Resonansi Republika, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri)
Ini salah satu konflik terlama di dunia, yakni antara Israel dan Palestina. Dulu, pada 1948, konflik ini antara Arab dan Israel ketika Arab Saudi, Mesir, Yordania, Suriah, dan beberapa negara Arab lain terlibat langsung dalam perang melawan negara Yahudi itu. Konflik mulai muncul sejak pengusiran sekitar 700 ribu warga Palestina dan Arab, setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948. Orang-orang Palestina menyebut pengusiran massal itu Nakba 1948, bahasa Arab untuk ‘malapetaka’.
Pengusiran warga Palestina/Arab disusul pembagian wilayah Palestina, berdasar pada Resolusi Majelis Umum PBB 181, 29 November 1947. Resolusi mengadopsi pembagian wilayah Palestina setelah diakhirinya mandat Britania Raya sejak 1 Agustus 1948, menjadi tiga entitas baru. Pertama, bagian Yahudi. Kedua, bagian Arab. Ketiga di bawah kendali internasional, yaitu wilayah besar Yerusalem, termasuk Betlehem.
Secara kasar Yahudi mendapat 55 persen dari area total, Arab 45 persen. Pertanyaannya, mengapa orang Arab dan Palestina waktu itu menentang resolusi PBB yang membagi wilayah Palestina untuk Arab dan Yahudi? Mengapa mereka menyatakan perang terhadap milisi bersenjata Yahudi di Palestina dari kelompok Yahudi Palmach, Irgun, Haganah, Stern, dan relawan Yahudi di luar wilayah mandat Britania Raya? Hingga sekarang, menurut kolumnis dan diplomat Arab Saudi Nayef bin Bandar Al-Sudairy, belum ada jawaban jelas. Justru yang sudah jelas, kekalahan Arab.
Israel dihadapkan pada tiga pilihan. Pertama, Israel tetap negara apartheid (rasis). Kedua, Israel sebagai negara tempat warga Arab dan Yahudi hidup berdampingan dengan hak dan kewajiban yang sama. Bila ini dipilih, keseimbangan jumlah penduduk akhirnya menguntungkan orang Arab, karena keunggulan demografis mereka. Ketiga, Israel menerima solusi dua negara. Solusi ini digagas untuk mengakhiri konflik Arab/Palestina-Israel, yang mana Arab/Palestina tidak lagi menuntut pembebasan seluruh wilayah Palestina untuk didirikan satu negara Palestina.
Solusi mengadopsi dua negara hidup berdampingan, Israel dan Palestina disetujui dalam Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB, setelah Perang 1967 ketika Israel berhasil menguasai lebih banyak lagi wilayah Arab dan Palestina. Dan terkait solusi dua negara, Saudi menyampaikan dua inisiatif. Pertama, inisiatif perdamaian Raja Fahd bin Abdul Aziz, diadopsi KTT Liga Arab di Fez pada 1981. Kedua, inisiatif perdamaian Raja Abdullah bin Abdul Aziz, diadopsi pada pertemuan puncak Liga Arab di Beirut pada 2002.
Dua inisiatif ini menetapkan pembentukan negara Palestina yang diakui internasional di perbatasan 1967, dengan ibu kota Yerusalem Timur. Inisiatif itu disambut baik berbagai pihak, kecuali Israel. Penolakan Israel itu justru memunculkan banyak persoalan. Antara lain, bentrokan di jalan-jalan di wilayah pendudukan bahkan di Israel sendiri, yang tentu tak diinginkan bahkan ditakuti Israel, seperti Intifada Pertama pada 1993 dan Intifada Kedua pada 2000. Intifada berarti ‘melepaskan diri’, dalam istilah Arab berarti perlawanan.
Palestina, menurut kolumnis dan diplomat Saudi al-Sudairy, menunggu keputusan Israel atas tiga pilihan tersebut. Tampaknya ini sikap paling menguntungkan. Sikap ‘menunggu’ akan meningkatkan kepercayaan diri dan kredibilitas Palestina. Sayangnya, lanjut al-Sudairy, saat bersamaan terjadi perpecahan di internal Palestina, terutama Fatah dan Hamas. Perpecahan merusak kredibilitas mereka. Ditambah krisis legitimasi, menyusul ditundanya atau dibatalkannya pemilihan presiden dan legislatif.
Dalam beberapa tahun ini, Israel berinteraksi langsung dengan Hamas, yang berkuasa di Jalur Gaza, sebagai alternatif politik. Israel sering menganggap sepi pemerintahan Palestina di Ramallah, Tepi Barat. Bahkan, berupaya memisahkan permanen wilayah Gaza dan Tepi Barat. Maka itu, konflik kini dipersempit, tadinya konflik Israel-Arab, lalu Israel-Palestina, dan kini Israel-Hamas.
Berbagai pihak sepakat, solusi dua negara penyelesaian terbaik. Solusi yang terus disuarakan masyarakat internasional dan diperjuangkan Presiden Mahmud Abbas ini, seharusnya didengar politisi Israel sebelum terlambat. Apalagi, kalau benar yang dikatakan diplomat Saudi al-Sudairy, ada suara di lembaga-lembaga Pemerintah Israel menuntut solusi yang memenuhi aspirasi sah rakyat Palestina. Konflik ini pokok persoalan terkait stabilitas politik dan keamanan di Timur Tengah. Selama hak-hak bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan belum tercapai, kawasan Timur Tengah terus bergolak. Karena itu, jangan biarkan bangsa Palestina terus menunggu solusi.
Wallahu a’lam bis shawaab