KEMENTERIAN Keuangan kini tengah menjadi sorotan. Berawal dari kasus pejabat Dirjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, kemudian viral Dirjen Pajak Suryo Utomo, pegawai Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, dan baru-baru ini PPATK mendapati puluhan pegawai di lingkungan Kemenkeu yang diduga terlibat pencucian uang dengan nilai transaksi 300 Triliun. Sebenarnya apa yang terjadi dengan para pengelola pajak negeri ini.
Dalam Islam, sistem perpajakan yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah ﷺ bisa kita ambil pelajaran. Saat Rasulullah ﷺ menjalankan kepemimpinan ummat, pendapatan negara diperoleh dari lima sumber, yaitu harta rampasan perang (ghanimah), harta kekayaan yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan (fai), zakat, pajak tanah (kharraj), dan pajak kepala (jizyah). Kecuali dua sumber pertama, yang lainnya merupakan sumber penghasilan tahunan.
Dalam Ensiklopedi ‘Muhammad Sebagai Negarawan’ disebutkan, para petugas (amil zakat) berkeliling negeri untuk mengumpulkan zakat dari masing-masing suku, lalu membawanya ke hadapan Rasulullah ﷺ. Para amil zakat di zaman Rasulullah ini tidak hanya ditugasi untuk mengumpulkan zakat, tetapi juga mengumpulkan jizyah dan kharraj. Biasanya, pemimpin suku diangkat sebagai kolektor zakat (amil) untuk anggota sukunya. Tetapi, pengangkatan ini kebanyakan bersifat temporer. Syarat utama amil zakat yang dimanahi ini harus jujur dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mekanisme penerapan dan pemberlakuan pajak yang diterapkan oleh Rasulullah ﷺ ini, kemudian diteruskan di masa kepemimpinan Al-Khulafa ar-Rasyidun.
Pajak dalam suatu negara menjadi salah satu sumber alternatif baru sebagai penghasilan atau pendapatan negara.
Adalah Ya’kub bin Ibrahim bin Habib bin Khunains atau yang lebih dikenal dengan Abu Yusuf yang semasa hidupnya mengalami 10 kali pergantian khalifah dari dinasti Muawiyyah dan Abbasiyah menuliskan buku kebijakan fiskal dan keuangan publik atau secara spesifik tentang perpajakan berjudul ‘Al-Kharaj‘ atas permintaan Khalifah Harun Ar-Rasyid agar negara dapat mengelola kas dengan baik.
“Uang negara bukan milik khalifah tapi amanat Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Karena itu pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka” bunyi kutipan dalam buku karya Abu Yusuf yang juga merupakan hakim agung di era Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Pada banyak hal di buku Al-Kharaj, Abu Yusuf menegaskan perlunya tanggung jawab ekonomi penguasa. la merekomendasikan agar negara mengambil pajak proporsional dari hasil pertanian ketimbang memungut sewa. Hal itu lebih adil karena mendorong perluasan areal tanam.
Abu Yusuf menggarisbawahi perlunya pertimbangan kemampuan membayar pajak, kemudahan wajib pajak dan administrasi pajak. Ia juga menekankan pengembangan infrastruktur sosial ekonomi dan menekankan peran pasar bebas dalam batasan sesuai syariah Islam.
Abu Yusuf menentang penetapan harga oleh negara, meski intervensi mungkin diperlukan guna mengatur pasar dan melindungi warga dari monopoli, penimbunan dan praktik korupsi lainnya. la juga mendorong proyek-proyek untuk mempromosikan ekonomi perdesaan.
Alih-alih memeriksa penerimaan dan pengeluaran negara dari perspektif sempit, ia menganggap negara sebagai jalan utama untuk mempromosikan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi. Abu Yusuf menganggap negara sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Atas rekomendasi Abu Yusuf itulah, Khalifah Harun Ar-Rasyid memanfaatkan uang kas negara untuk membangun pusat-pusat ekonomi, sekaligus memberi gaji tinggi pada ulama dan ilmuwan, dan insentif untuk mereka yang menghasilkan karya ilmiah atau penemuan.
Menurut Al-Maliki, hukum Islam mengharamkan negara menguasai harta benda rakyat dengan kekuasaannya. Jika negara mengambilnya dengan menggunakan kekuatan dan cara paksa, berarti merampas. Padahal, hukum merampas adalah haram.
Jika mengikuti cara mengelola pajak seperti pada zaman Rasulullah ﷺ dan kekhalifahan Islam, maka makna demokrasi “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat” dapat diwujudkan dengan mudah.
Wallaahu a’lam bisshawaab