Resonansi Republika, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
SEJAK Cina berhasil mendamaikan dua seteru, Iran dan Saudi, Maret lalu, peristiwa itu terus menjadi topik bahasan hangat di media Arab hingga kini. Banyak pihak tidak percaya, Saudi yang Wahabi dan Iran yang Syiah bisa berekonsiliasi setelah tujuh tahun berseteru. Apalagi yang mendamaikan adalah Cina yang komunis. Ketiga negara itu banyak kontradiksi, seperti minyak dan air, yang susah disatukan. Lalu banyak kalangan yang mempertanyakan, mengapa yang mendamaikan Cina dan bukan Amerika Serikat.
Toh negara Paman Sam ini telah lama menjadi sheriff dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah. Rezim Presiden Irak Saddam Husein digebuk hingga jatuh. Begitu juga dengan Mullah Mohammad Omar yang berkuasa di Afghanistan sejak 1996, dan terguling dari kekuasaannya pada 2001 ketika diinvasi militer Amerika. Paman Sam pula yang menembak mati pemimpin teroris Alqaidah, Usamah bin Ladin, dan memburu dengan serangan udara jenderal Iran yang sangat berpengaruh, Qasem Soleimani. Sebaliknya, kepada Gedung Putih pula Israel ‘minta petunjuk’ ketika militer negara Zionis itu menyerang kelompok-kelompok Palestina. Pun Amerika yang menfasilitasi perdamaian antara Israel dan Mesir, serta normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan Negara Yahudi itu.
Atau mengapa bukan Inggris dan Prancis yang mendamaikan Iran dengan Saudi? Ini mengingat sejarah panjang keberadaan dua negara itu ketika menjajah sejumlah negara Arab dan Afrika. Juga mengapa bukan Rabitah al-‘Alam al-Islami (Muslim World League), Gerakan Non-Blok, atau bahkan PBB, di mana Saudi dan Iran sama-sama menjadi anggota di ketiga organisasi internasional itu.
Mengutip sejumlah pengamat Timur Tengah, keberhasilan Cina mendamaikan Saudi dan Iran lebih berlatarbelakang ekonomi, perdagangan, dan investasi. Hal itu bisa dilakukan lantaran Cina mempunyai hubungan baik dengan Iran dan Saudi. Sedangkan mengenai ideologi ketiga negara yang sangat kontradiktif, cukup untuk urusan dalam negeri masing-masing. Cina, Saudi, dan Iran tidak lagi ‘mengekspor’ ideologi mereka ke negara lain. Dengan kata lain, mereka sepakat untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing atau juga negara lain. Lakum diinukum waliya ad diin, untukmu agamamu dan untukku agamaku. Hal ini tentu bertolak belakang dengan Barat dan Amerika Serikat yang selalu ‘memaksakan’ nilai-niai demokrasi, kebebasan, ham kepada negara lain. Nilai-nilai dengan standar mereka sendiri.
Pembakaran Kitab Suci Alquran, misalnya, bagi Barat adalah bagian dari kebebasan berekpresi. Sebaliknya, untuk negara-negara Islam perbuatan itu sebagai penghinaan dan kebencian terhadap agama lain alias Islamofobia. Sedangkan bagi Cina, urusan demokrasi, kebebasan dan ham adalah masalah dalam negeri masing-masing, termasuk di negara-negara Arab. Semua pihak harus saling menghormati kedaulatan dan kekhususan budaya negara lain. Urusan mereka hanyalah ekonomi, dagang, investasi, dan kemakmuran bersama. Termasuk ketika Cina mendamaikan Saudi dengan Iran, urusan mereka adalah ekonomi.
Sebagai pembeli utama minyak dan gas dari Iran dan Saudi, Cina mempunyai kepentingan besar untuk menyeimbangkan berbagai kekuatan demi memelihara stabilitas dan keamanan di kawasan Teluk. Termasuk mengamankan Selat Hormuz yang menjadi jalur lalu lintas utama komoditas penting, utamanya minyak dan gas. Jadi bukan buat memenangkan persaingan geopolitik dan geostrategis di kawasan vital tersebut. Namun lebih untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan, demi kemakmuran bersama.
Menurut kolomnis di media al Sharq al Awsat, Dr Muhmmad Ali Saqqaf, ada hal lain yang mempermudah Arab lekas cocok berhubungan dengan Cina, yakni kesamaan sejarah. Mereka tidak pernah menjajah satu sama lain. Hal ini berbeda dengan hubungan antara Barat dan Arab serta Cina. Barat, terutama Inggris dan Prancis, adalah negara kolonial. Mereka pernah menjajah Cina dan negara-negara Arab. Oleh sebab itu, Cina yang menganggap dirinya sebagai bagian dari Dunia Ketiga, mendapat respons positif di negara-negara Arab. Kesamaan sejarah itulah yang mempermudah hubungan diplomatik Arab dengan Cina, lebih dari 67 tahun. Yang pertama menjalin hubungan adalah Mesir pada 1956, lalu diikuti negara-negara Arab lainnya.
Menurut media China Today, hubungan diplomatik negara-negara Arab dengan Cina telah lebih dulu terjalin sebelum negara mana pun di Asia Barat dan Benua Afrika melakukan hal sama. Sementara untuk Arab Saudi, hubungan diplomatik dengan Cina baru berjadi pada 1990. Pada 25 Oktober 1971, ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 2758, yang mengakui Republik Rakyat Cina sebagai satu-satunya wakil sah bangsa Cina di organisasi internasional itu, 12 negara Arab telah memiliki hubungan diplomatik dengan RRC. Bahkan delapan negara Arab berada di garis depan dari 23 negara yang mengajukan rancangan resolusi tersebut.
Dengan demikian, negara-negara Arab tersebut memiliki peran besar dan berpengaruh dalam memulihkan hak-hak hukum RRC di PBB secara penuh. Sebaliknya, Cina juga proaktif menentang kembalinya ‘imperialisme kolonial Barat’ terhadap negara-negara Arab. Hal ini terbukti ketika Cina mendukung penuh gerakan pembebasan Arab. Termasuk ketika terjadi agresi tripartit — Inggris, Prancis, dan Israel — terhadap Mesir pada 1956. Serangan itu mereka lancarkan ketika Mesir menasionalisasi Terusan Suez.
Selanjutnya, Cina pula negara pertama non-Arab yang mengakui Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO. Palestinia Liberation Organization adalah organisasi yang dibentuk pada 28 Mei 1964, dengan tujuan kemerdekaan Palestina. Organisasi ini merupakan perwakilan sah dari bangsa Palestina yang diakui oleh 100 negara dan mendapatkan status peninjau oleh PBB sejak 1974. Pada 2012, sejumlah 129 dari 193 negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai sebuah negara, yang wilayahnya hingga kini masih diduduki penjajah Israel. Cina kini aktif mendukung solusi dua negara — Israel dan Palestina — tapi terus ditolak Israel.
Kehadiran Cina di kawasan Timur Tengah tampaknya tidak untuk menggantikan posisi Amerika Serikat. Negara-negara Arab tahu betul tentang pentingnya hubungan strategis dan aliansi jangka panjang dengan negara Paman Sam itu. Namun, kehadiran Negara Tirai Bambu melalui gerbang kemitraan ekonomi akan semakin menjadikan negara-negara Teluk, utamanya Saudi, sebagai pemain penting di kawasan Timur Tengah. Cina kini bukan lagi negeri yang jauh dari Arab. Mereka sudah hadir di Arab dan disambut mesra, karena yang ditawarkan kemitraan kerja sama ekonomi, dagang, dan investasi, bukan kekuatan militer dan ekspansi ideologi komunisnya.
Wallahu a’lam bishawab