Selasa, 23 Shafar 1446 H/ 27 Agustus 2024
Saat dunia menyaksikan kejahatan dan kedegilan Israel terhadap rakyat Palestina kita sadar, bahwa masalah Palestina bukan soal kecil. Ini masalah besar. Yang sedang kita hadapi adalah bangsa Yahudi, sebuah bangsa yang telah terkenal dengan kecerdikan dan kejahatannya dalam sejarah. Bangsa ini juga begitu banyak disebutkan dalam Al-Quran, khususnya tentang kejahatan-kejahatan dan watak degil mereka dalam sejarah.
Perjuangan membebaskan Palestina bukanlah kali pertama dilakukan umat Islam. Sejarah menunjukkan, perjuangan membebaskan diri dari suatu penindasan seringkali membutuhkan waktu yang panjang. Kita ingat, kemerdekaan Indonesia harus dicapai setelah ratusan tahun harus berjuang melawan penjajah Belanda. Dalam kaitan inilah, kita perlu mengingat, bahwa syarat penting untuk meraih kemenangan dalam perjuangan adalah sabar dalam berjuang. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan perkuatlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (QS. Ali Imran, ayat 200).
Perjuangan mewujudkan suatu kemenangan, apalagi kemenangan perjuangan Islam terkadang memerlukan waktu yang panjang. Untuk dapat menaklukkan Konstantinopel, umat Islam membutuhkan waktu sekitar 800 tahun. Rasulullah ﷺ wafat sekitar tahun 636 M. Semasa hidup, beliau pernah mengabarkan bahwa umat Islam suatu ketika akan menaklukkan Konstantinopel. Ternyata, penaklukan Konstantinopel baru terjadi pada tahun 1453 M. Pada tahun 1099 M, kota Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Umat Islam merebut kembali kota Jerusalem baru pada tahun 1187 M. Itu artinya, umat Islam harus menunggu waktu selama 88 tahun untuk merebut kembali Jerusalem.
Kini, umat Islam diuji oleh Allah SWT, berupa penodaan dan penindasan kaum Yahudi di Palestina. Berulang kali kaum Yahudi merusak dan menodai kesucian Masjid Al-Aqsa. Kini, mereka terus mengancam keberadaan Masjid al-Aqsa. Sejak tahun 1967, tempat suci umat Islam ini sudah direbut kaum Yahudi. Jadi, pendudukan Yahudi atas Al-Aqsa kini sudah berlangsung 57 tahun. Hingga kini, belum tampak jelas, tanda-tanda untuk mengakhiri keangkuhan kaum Yahudi itu.
Tapi, kasus Jerusalem dan Masjid al-Aqsa sebenarnya merupakan cermin atas kondisi umat Islam sendiri. Umat Islam diperlakukan tidak semestinya, karena mereka lemah. Mengapa mereka lemah? Karena – seperti disebutkan Rasulullah ﷺ – mereka terjangkit penyakit al-wahn, yakni penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka, jika umat Islam mau menang, penyakit itu harus dihapuskan. Tentu saja, ini bukan perkara mudah, karena menyangkut pola pikir dan budaya. Budaya hubbud-dunya telah merasuk dalam berbagai bidang kehidupan. Hubbud-dunya adalah pangkal segala kesalahan. Ketika penyakit ini merasuk, maka akan rusaklah segala tatanan kehidupan. Sebab, dunia, yang seharusnya dijadikan sebagai “ladang akhirat” telah dijadikan sebagai tujuan hidup. Jika hubbud-dunya telah merajalela, maka secara otomatis semangat untuk berjuang di jalan Allah akan memudar.
Inilah PR terbesar yang harus dikerjakan oleh umat Islam. Yakni, bagaimana menjadikan akhirat sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan dan membuang penyakit hubbud-dunya. Ini bukan pekerjaan mudah, karena menyangkut perubahan pemikiran dan pendidikan. Dalam sejarah bisa dilihat, untuk membangkitkan satu generasi Shalahuddin, para ulama memerlukan waktu sekitar 50 tahun. Kembalinya Jerusalem ke tangan umat Islam pada 1187, didahului dengan sebuah proses perubahan sosial yang dipimpin oleh para ulama yang tinggi ilmunya dan zuhud kehidupannya. Masalahnya, apakah umat Islam saat ini mempunyai ulama-ulama yang hebat semacam itu? Jika tidak, maka kewajiban utama umat Islam adalah mewujudkannya.
Semua itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Perjuangan Islam membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kecerdikan. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Godaan untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan, bisa menghancurkan proses perjuangan. Godaan inilah yang menjadi penyebab hancurnya pasukan Islam, gara-gara sebagian pasukan panah tergoda oleh harta rampasan perang. Maka, keliru besar jika ada yang menyangka bahwa jika ada sebagian aktivis dakwah telah menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan, dikatakan, bahwa mereka telah berhasil dalam dakwah. Sementara pada saat yang sama, dia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk memajukan umat Islam dan melawan kemunkaran yang bercokol di sekitarnya.
Walhasil, perjuangan memerlukan kesabaran dan strategi yang matang. Perjuangan bisa berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nafsu untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan dapat menghancurkan tujuan perjuangan itu sendiri. Karena itulah, kita sangat berutang budi pada para ustadz dan aktivis dakwah yang tidak pernah tersorot kamera TV atau liputan media massa, tetapi gigih mengajak persatuan umat untuk membela pembebasan Palestina dan Masjid Al Aqsa dari cengkeraman kaum Zionis. Perjuangan masih belum berhenti. Perjuangan membutuhkan kesabaran dan akan berlangsung terus, dari generasi demi generasi.
Wallahu a’lam bisshawwab