Kamis, 15 Zulqaidah 1445 H/ 23 Mei 2024
Mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) belakangan menjadi topik perbincangan di tengah masyarakat. UKT yang kian hari kian melejit, diprotes banyak mahasiswa PTN. Protes mengenai UKT mahal ini pun diperkeruh dengan respons dari pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan, kuliah atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier. Oleh sebab itu, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi perguruan tinggi.
Seperti diketahui, beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia kembali menetapkan kenaikan besaran UKT dan Iuran Pengembangan Instruksi (IPI) yang memicu perdebatan. Universitas Indonesia, misalnya, telah menetapkan Uang Kuliah Tunggal di kisaran Rp500 ribu hingga Rp20 juta. Sedangkan Iuran Pengembangan Institusi angkanya lebih mencengangkan lagi, mulai dari Rp0 hingga tembus angka Rp161,67 juta. Begitu pun perguruan tinggi lainnya seperti ITB, UGM, Unsoed, UIN Syarif Hidayatullah, USU, dan lainnya. Masing-masing telah menetapkan kenaikan biaya kuliah meski dengan skema yang berbeda-beda. Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi melakukan protes keras karena kebijakan tersebut dinilai sangat memberatkan.
Sebelum masalah kenaikan, mahasiswa telah dihadapkan dengan kesulitan membayar uang kuliah tunggal. Dan masalah ini terjadi di banyak perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi negeri. Ada kecenderungan permohonan keringanan UKT bertambah tiap tahun akademik baru. Sejumlah kasus berakhir memilukan ketika mahasiswa dari keluarga miskin gagal membayar UKT. Keringanan UKT diatur dalam Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2017. Regulasi itu mengatur pimpinan perguruan tinggi negeri dapat memberikan keringanan UKT atau melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa yang mengalami ketidakmampuan ekonomi atau mahasiswa yang mengalami perubahan data kemampuan ekonomi.
Masalah kenaikan biaya kuliah bukan kali ini saja terjadi. Nyaris tiap tahun UKT naik dan kian memperburam potret pendidikan di negeri ini. Dampaknya, bukan hanya menambah berat beban ekonomi para mahasiswa dan calon mahasiswa yang mayoritas berasal dari masyarakat bawah, tetapi juga turut memperberat beban fisik dan mental mahasiswa yang sudah habis tenaganya dengan beban kurikulum yang luar biasa. Tidak heran jika akhir-akhir ini makin banyak mahasiswa yang putus kuliah atau terjerat pinjol hingga berujung kriminal. Tidak sedikit pula yang mengalami depresi dan sakit berkepanjangan.
Kenaikan beban biaya kuliah tahun ini dilegitimasi oleh terbitnya Keputusan Kemendikbudristek Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi serta Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 yang mengatur pemetaan tarif UKT menjadi lebih spesifik di tiap program studi. Dengan aturan ini, bukan hanya UKT yang bisa naik. Pimpinan perguruan tinggi juga dapat menetapkan kenaikan tarif IPI yang besarannya maksimal empat kali besaran Biaya Kuliah Tunggal per tahun tiap prodi. Meski penerapannya diharuskan menggunakan prinsip kewajaran, proporsional, dan berkeadilan, dengan memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa dan orang tua atau penanggung biaya pendidikan mahasiswa bersangkutan, faktanya tetap saja aturan ini dipandang sewenang-wenang.
Pihak pemerintah sendiri beralasan aturan soal penyesuaian biaya pendidikan di perguruan tinggi ini merupakan hal yang realistis mengingat adanya inflasi yang berpengaruh terhadap biaya penyelenggaraan pendidikan akhir-akhir ini. Untuk menjamin agar pendidikan di perguruan tinggi tetap bisa memenuhi standar dan berkualitas tinggi maka pihak perguruan tinggi diberi wewenang oleh pemerintah untuk menaikkan biaya pendidikan, tetapi tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip yang tadi sudah disebutkan. Hanya saja jika ditelusuri, akar masalah mahalnya biaya kuliah yang tidak berujung ini ternyata berawal dari kebijakan pemberian otonomi kampus yang makin besar pada tahun 2012. Pengelolaan kampus menggunakan paradigma bisnis secara swadaya oleh lembaga dengan konsep swastanisasi penuh.
Semangat liberalisasi di perguruan tinggi ini sepertinya sejalan dengan liberalisasi ekonomi di berbagai sektor, termasuk sektor layanan publik yang makin terbuka sebagai konsekuensi keterikatan negara pada berbagai perjanjian internasional, khususnya liberalisasi pasar bebas ala kapitalisme global. Dengan spirit ini berbagai perguruan tinggi pun didorong untuk meraih standar kelas dunia atau World Class University (WCU) dengan indikator standar mutu dan akreditasi yang ditetapkan pemerintah dan lembaga dunia. Untuk meningkatkan performa dan daya saing di pasar pendidikan, mereka didorong untuk memiliki infrastruktur tertentu, kualifikasi dosen tertentu, rilis hasil-hasil riset tertentu, dan lainnya.
Oleh karenanya, alih-alih bisa meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan pengajaran; Penelitian dan pengembangan; serta Pengabdian kepada masyarakat, fokus lembaga pendidikan tinggi justru makin jauh dari visi misi pendidikan yang mulia yang katanya diinginkan negeri ini. Target mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 dipastikan hanya tinggal mimpi.
Wallahu ‘Alam Bishawwab