Oleh: Ahmad Septian, Guru SMAN 90 Jakarta
BERITA hari ini kriminalisasi guru di dunia pendidikan terjadi lagi dengan kasus Supriyani seorang guru honorer di Konawe Selatan yang dituduh menganiaya siswanya. Buntut dari tuduhan itu orang tua siswa yang juga merupakan Kepala Unit Intelijen Polsek Baito melakukan tuntutan kepada Supriyani, hingga setelah melalui berbagai mediasi dan rangkaian panjang prosedur penyelesaian masalah, Kepala Satreskrim Polres Konsel tetap mengeluarkan Surat Penetapan Tersangka untuk Supriyani.
Antan patah, lesung hilang. Begitulah kiranya peribahasa yang cocok disematkan pada apa yang menimpa Supriyani. Tidak dapat dipungkiri bahwa menjadi guru di Indonesia merupakan sebuah ujian, apalagi jika statusnya adalah guru honorer. Bisa anda bayangkan, guru honorer suka tak suka adalah kelas pekerja paling rentan di dunia pendidikan, tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, bahkan seringkali guru honorer mesti mencukupi kebutuhannya dengan bekerja sampingan. Untuk menerima kenyataan bahwa apa yang terjadi pada Supriyani dapat juga terjadi kepada guru lain, rasanya bukanlah sesuatu yang sulit dimengerti. Kendatipun kekerasan bukan hal yang dapat dibenarkan, tetapi fakta bahwa seorang guru memiliki hak yang diatur untuk menasihati bahkan menegur siswa yang tidak disiplin tetaplah berlaku baginya.
Barangkali kita mesti sepaham mengenai definisi guru, jika meminjam konsep yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara, pada masanya istilah guru bukanlah kata yang familiar sebagai seorang pengajar di sekolah, justru pada masa itu khususnya pada sistem pendidikan yang ada di Tamansiswa, guru disebut sebagai pamong. Istilah pamong merujuk pada konsep among yang merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya. Seorang pamong mesti memiliki perilaku yang bersifat memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya. Menurut konsep among ini, dalam kurun waktu yang bersamaan siswa juga dapat menjadi subjek, sehingga hubungan pamong dengan siswa mesti dilandasi dengan cinta kasih serta jauh dari sifat otoriter.
Namun kebebasan yang diberikan oleh sistem ini juga dibatasi. Seorang pamong diberi keleluasaan untuk bersikap handayani, yakni, mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri. Guru yang pada mulanya dikenal sebagai agen moral, selain dari mengajarkan ilmu-ilmu, hari ini nampaknya tidak lagi menemukan perannya. Sebab rentetan kasus yang berkaitan dengan pelaporan guru karena hendak mendisiplinkan siswa selalu berujung pada pihak berwajib. Sekali lagi, kekerasan dalam hal apa pun tetap tidak dibenarkan, akan tetapi bolehkah jika hari ini banyak guru yang memilih untuk meminimalisir perannya sebagai agen moral.
Rasa takut yang dialami atas hal itu (Kriminalisasi Guru), seakan membentuk alam bawah sadar para guru untuk mengambil jarak pada peran mendisiplinkan. Jika ada siswa yang berlaku tidak sopan maka guru rasanya enggan lagi menegur. Mereka lebih baik diam dari pada harus berurusan dengan tek-tek bengek konflik dengan orang tua. Ya, sejatinya ada dua pihak dalam hal ini, siswa dan orang tuanya. Bisa jadi, ada tali yang putus antara apa yang diharapkan orang tua dengan sekolah dalam hal ini untuk mendidik anak-anaknya, sehingga banyak terjadinya ketidakterimaan pada cara guru memperlakukan siswa.
Kiranya jika memang banyak pihak menganggap pendidikan itu mesti membebaskan siswa berlaku sesuai kehendaknya, tanpa kecuali, maka kita sedang membayangkan begitulah kiranya dunia tanpa guru. Tidak ada lagi kompas moral manakala siswa melenceng dari koridor yang seharusnya. Tentu saya tidak sedang mengatakan bahwa siswa hari ini punya mentalitas yang beda dengan siswa era sebelumnya. Setiap zaman ada orangnya, dan setiap orang hidup pada zamannya. Saya hanya ingin membayangkan bahwa dunia ini sedang menolak cara guru mendidik siswanya, alih-alih mendukung. Ada banyak pihak yang mengintervensi pendidikan melalui setiap jalur termasuk politik, membuat aturan-aturan yang melarang guru menegur siswa, sebab kebebasan absolut (kebebasan tanpa batas) adalah hak setiap orang.
Hari ini adalah hari di mana tanda-tanda bayangan itu mulai tampak di depan mata. Dan secara tidak sadar kita seakan-akan mengamininya, menjadi bagian dari masyarakat yang ingin bebas, sehingga tidak boleh ada lagi yang menetapkan batas pada kebebasan itu untuk anak-anak kita. Kebebasan yang tiada akhir. Kebebasan yang berbahaya. Akhirnya guru bukan lagi menjadi sosok, tetapi dalam kacamata masyarakat, guru hanyalah sebatas profesi, di mana guru menjadi penyedia jasa bagi customer-customernya. Mungkin, apa yang dialami Ibu Supriyani akan menyisakan bekas yang dalam bagi ingatannya. Ia mungkin akan merasa bahwa menjadi guru bukanlah pilihan yang tepat, meski ada banyak harapan dan doa untuknya agar tetap tabah.***
Wallahu a’lam bisshowab