SUKA atau tidak, kali ini kita dipaksa merayakan Idul Fitri dengan sebuah berita korupsi terheboh. Sementara sebagian rakyat yang mencoba bertahan menghadapi kontraksi ekonomi pasca pemilu ini dengan “sarung kependekan”, di luar sana ada dunia yang tak tersentuh krisis.
Ya, sarung kependekan. Lihatlah mereka yang terpaksa mengurungkan niatnya mudik. Apa pun yang dilakukan, sang “sarung” tidak kunjung cukup untuk menutupi aurat dari pusar sampai bawah lutut. Bila rezeki terkumpul dibelikan bahan makanan pokok, apalagi ditambah lagi pakaian baru buat anak-anak, maka tertutuplah kemungkinan untuk mudik, pulang kampung. Apabila segenap dana lalu dikerahkan untuk pulang kampung semata, bisa dipastikan sambutan sanak saudara tak akan meriah. Karena kedatangan “orang kota” sudah barang tentu kali ini tak akan disertai oleh-oleh yang ditunggu-tunggu keluarga, kawan lama dan tetangga.
Hidup bertambah susah, tapi tidak demikian halnya bagi 14 orang –jumlah ini bisa bertambah—yang telah berkomplot, bersama-sama mengadakan pertambangan ilegal di Bangka Belitung. Persoalannya jadi tak sesederhana yang kita bayangkan, manakala mereka kemudian menjual kembali hasil penambangan tak halalnya itu kepada PT Timah Tbk.
Bayang-bayang sebuah persekongkolan antara “orang dalam” PT Timah, “orang kuat” yang kebal hukum, dan sejumlah pengusaha – termasuk di dalamnya orang-orang kaya dan terkenal di negeri ini pun muncul. Adalah Harvey Moeis, suami aktris Sandra Dewi, dan Helena Lim, dua sosok di antara kaum ‘the rich and famous’ yang telah menjadi tersangka.
Konspirasi yang menusuk ini mulai tercium tatkala hasil observasi citra satelit dan pemeriksaan di lapangan menunjukkan satu keanehan. Aktivitas pertambangan di kawasan hutan dan nonhutan oleh PT Timah Tbk terbukti mencapai luas daerah 170.363 hektare. Padahal, total luas lahan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) hanya 88.900 hektare. Tampaklah, 42 persen aktivitas tambang di kawasan lahan milik PT Timah itu berstatus ilegal. Dari luasan itulah timbul hal yang menyebabkan kerugian perekonomian negara.
Sejauh ini, hasil perhitungan Kejaksaan Agung (Kejagung), memperlihatkan kerusakan lingkungan akibat kasus dugaan korupsi pertambangan timah di Bangka Belitung (Babel) pada 2015-2022 mencapai Rp271,06 triliun. Angka kerugian negara yang benar-benar fantastis, kendati hingga kini kita masih menunggu gambaran yang lebih jelas mengenai besar keuntungan yang mereka raih dari persekongkolan itu.
Aneh, juga menyakitkan melihat bagian dari the rich and famous yang selalu menyita perhatian publik dan hidupnya teramat berkecukupan itu masih melakukan kecurangan. Tampaknya tidak terlalu berlebihan apabila kita membandingkan koruptor dengan tukang sulap. Yang pertama pandai mengubah burung merpati menjadi seikat mawar, atau memindahkan koin dari saku seorang penonton ke saku penonton lain. Yang kedua tidak pintar menyulap koin atau serpihan kertas menjadi kelinci, tapi mahir memindahkan dana publik, dana negara, atau perusahaan ke dalam tabungan pribadi atau ke tabungan orang lain–demi menghapus jejak.
Dan–ini yang paling penting–semua ini dilakukan secara instan, cukup dengan simsalabim, dengan magic. Dengan kata lain: jarak antara keinginan dan terwujudnya keinginan sedemikian dekat, hanya dalam hitungan detik.
Kita sudah terlalu muak menyaksikan kekayaan negara dikeruk oleh segelintir orang yang tamak. Kita mengenal beberapa cara untuk mengurangi kasus korupsi yang tak kunjung jera menjarah negeri ini. Termasuk misalnya memiskinkan koruptor, atau menghadirkan pembuktian terbalik yang menyita aset tersangka sampai akhirnya ia bisa membuktikan kepemilikannya atas aset tersebut dalam proses pengadilan.
Dari semua itu, ada satu lagi yang juga pantas kita simak-baik-baik. Kita baru saja menjalankan puasa Ramadhan yang mendidik diri ini untuk mempertahankan jarak cukup panjang antara hasrat dan terwujudnya hasrat. Ya, menahan nafsu, itulah esensi berpuasa. Semoga Ramadhan kali ini bisa membuat kita semua jadi manusia yang lebih baik. Aamiin…
Wallahu ‘Alam Bishawwab