Cibubur, Rasilnews — Pemerintah baru-baru ini mengumumkan klasifikasi layanan premium pada sejumlah sektor, termasuk beras, buah-buahan, produk laut, serta jasa pendidikan dan layanan kesehatan. Kebijakan ini menuai pertanyaan terkait peta pasar dan dampaknya terhadap akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, khususnya jika dikaitkan dengan program BPJS.
Pakar ekonomi dan politik, Ichsanudin Noorsy menilai, pengklasifikasian ini berpotensi menciptakan ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Menurut mereka, layanan pendidikan dan kesehatan bukan sekadar komoditas komersial, tetapi termasuk dalam kategori kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara sesuai konstitusi.
“Ketika pemerintah mengklasifikasikan kelas ekonomi, medium, dan premium dalam layanan kesehatan serta pendidikan, itu sesungguhnya mencerminkan adanya stratifikasi kelas di masyarakat. Bagi mereka yang mampu, bisa memilih layanan premium. Sementara masyarakat kelas bawah harus bergantung pada BPJS atau layanan publik lainnya,” ujarnya dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Selasa (17/12/24).
Lebih jauh, pengamat Ekonomi dan Politik yang meraih gelar doktor ekonominya di Universitas Airlangga ini menyoroti liberalisasi ekonomi sebagai penyebab utama ketimpangan di Indonesia. Ia melihat bahwa sejak era Reformasi, pemerintah dinilai tidak lagi mampu membedakan mana barang dan jasa komersial dengan kebutuhan dasar publik. Salah satu contohnya adalah peran Bulog yang dulu mengatur stabilitas harga beras, namun kini fungsinya terbatas sehingga beras pun dianggap sebagai barang komersial.
“Pendidikan dan kesehatan, sesuai amanat konstitusi, adalah kebutuhan dasar dan bukan barang komersial. Tapi sejak ekonomi kita bergerak ke arah liberal, pengklasifikasian ini terjadi. Akibatnya, tercipta ketimpangan antara masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah,” lanjutnya.
Bahkan, kebijakan ekonomi terbuka ini memicu keluarnya dana besar dari dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan di era Nila Moeloek -saat dirinya mempresentasikannya- diperkirakan sekitar Rp12 triliun per tahun dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk layanan kesehatan di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Australia.
Kebijakan ini pun dinilai bertentangan dengan konstitusi dan prinsip akuntabilitas publik. Pemerintah dianggap tidak menjalankan amanah konstitusi yang menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang harus dijamin. Selain itu, ada kritik tajam terkait rendahnya akuntabilitas publik dalam pengambilan kebijakan tersebut.
“Kesalahan ini bersifat prinsipil. Tidak hanya bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga mengabaikan kejujuran dalam menjalankan amanah rakyat. Masyarakat harus menyadari bahwa akar masalah ini adalah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi UUD 2002 yang memicu liberalisasi ekonomi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ichsanudin menegaskan bahwa kebijakan klasifikasi layanan premium di sektor pendidikan dan kesehatan menjadi sorotan tajam publik. dirinya mengkritik keras, dan meminta agar pemerintah kembali menjalankan amanat konstitusi untuk menjamin akses merata terhadap kebutuhan dasar masyarakat.