Oleh : Syafril Lubis
Setiap hari, kita disuguhi banjir informasi dari berbagai arah. Dari kanan, kiri, depan, belakang—semuanya menyodorkan berita, opini, komentar, atau bahkan kabar burung yang tak jarang memicu rasa marah, kecewa, dan sedih. Kita hidup dalam era informasi yang begitu cepat, namun belum tentu sehat. Banyak dari kita merasa kewalahan, bahkan lelah secara emosional, karena terus-menerus dijejali oleh hal-hal yang negatif, baik melalui media sosial, televisi, hingga percakapan sehari-hari.
Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi semakin mengkhawatirkan. Di satu sisi, keterbukaan informasi adalah kemajuan zaman. Namun di sisi lain, tanpa kemampuan untuk menyaring dan mengelola informasi yang kita terima, kita rentan terjebak dalam siklus emosi negatif. Lebih dari itu, kita bisa ikut menyebarkannya—sadar maupun tidak—kepada orang lain. Inilah yang menjadikan masalah ini bukan lagi soal pribadi, melainkan persoalan kolektif yang harus disikapi secara serius.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya manusia menghadapi situasi seperti ini?
Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa karena dianugerahi akal dan hati. Informasi yang kita terima melalui dua jalur utama—pendengaran dan penglihatan—akan disalurkan ke dalam hati. Jika yang kita dengar dan lihat adalah hal-hal negatif secara terus-menerus, maka besar kemungkinan hati kita pun akan menjadi gelap, penuh prasangka, dan kehilangan kejernihannya.
Namun, Allah juga membekali manusia dengan kemampuan untuk berpikir, membayangkan, dan menimbang. Imajinasi, hati nurani, dan akal adalah modal besar dalam menghadapi realitas kehidupan yang penuh dinamika. Ketiganya bukan sekadar alat pasif, melainkan sarana aktif untuk menyeleksi, mengolah, dan merespons apa yang kita terima. Ini berarti, meskipun kita hidup di tengah gelombang informasi negatif, kita masih bisa memilih untuk tidak larut di dalamnya.
Inilah mengapa penting bagi setiap individu untuk membangun kesadaran terhadap apa yang dikonsumsi oleh indera dan pikirannya. Kita perlu menjaga hati agar tetap bersih, menjaga pikiran agar tetap jernih, dan menggunakan imajinasi kita untuk membayangkan dunia yang lebih baik—bukan dunia yang dipenuhi kemarahan dan kebencian.
Dalam kondisi seperti ini, sangat mudah bagi seseorang untuk menjadi bagian dari masalah—baik karena ikut menyebarkan berita yang belum tentu benar, memperkeruh suasana melalui komentar, atau sekadar diam tanpa memberikan pengaruh apapun. Namun sesungguhnya, kita semua memiliki pilihan lain: untuk hadir sebagai suara yang positif.
Menjadi positif bukan berarti mengabaikan kenyataan. Bukan pula berarti menutup mata terhadap ketidakadilan atau masalah yang nyata. Namun sikap positif adalah sikap sadar dan bijaksana—memilih kata-kata yang menenangkan, memberi solusi, menguatkan sesama, dan mengajak orang lain kepada kebaikan. Komunikasi yang positif adalah salah satu bentuk kontribusi nyata yang bisa dilakukan siapa saja, di mana saja.
Kita tidak harus menjadi tokoh publik, influencer, atau pemimpin besar untuk memulai. Cukup mulai dari diri sendiri—dari lingkungan rumah, komunitas, tempat kerja, hingga ruang-ruang digital yang kita miliki. Bahkan satu unggahan yang menenangkan, satu komentar yang menyejukkan, atau satu percakapan yang membangun, bisa menjadi pengaruh besar bagi yang membacanya.
Salah satu contoh peran nyata dalam menyebarkan semangat produktivitas dan kebermanfaatan adalah visi yang diusung oleh Rasil (Radio Silaturahim). Rasil memiliki visi untuk mengoptimalkan potensi umat dalam rangka kemaslahatan bersama, khususnya dalam hal produktivitas dan penguatan ekonomi syariah. Ini menunjukkan bahwa masih banyak ruang di mana umat bisa bergerak secara nyata, memberikan kontribusi positif, dan membangun masa depan yang lebih baik.
Konsep ekonomi syariah yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kesejahteraan bersama adalah salah satu wujud dari pemikiran positif dan produktif. Ketika sebagian orang terjebak dalam pesimisme, Rasil dan komunitasnya memilih untuk fokus pada solusi, inovasi, dan pemberdayaan. Ini adalah contoh konkret bahwa energi positif bisa diwujudkan dalam bentuk program, gerakan, dan perubahan nyata.
Maka, jika lingkungan kita saat ini belum sepenuhnya mendukung, jangan patah semangat. Masih ada potensi yang bisa kita gali—dari rumah kita sendiri, dari komunitas kecil yang kita miliki, dari jaringan pertemanan yang kita bangun. Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang konsisten.
Perjuangan untuk menjadi pribadi yang positif dan produktif bukanlah hal mudah. Ia menuntut konsistensi, ketulusan, dan niat yang lurus. Kita hidup di zaman di mana pujian, pengakuan, dan angka-angka popularitas seringkali menjadi motivasi utama. Namun dalam konteks dakwah—yakni mengajak kepada kebaikan—semua itu bukanlah tujuan utama.
Perjuangan ini seharusnya berangkat dari hati yang ingin memberi, bukan mengambil. Dari semangat mencari ilmu, bukan sekadar mencari pengikut. Dari keinginan untuk menebar manfaat, bukan mengejar nama besar. Inilah yang membedakan dakwah yang murni dari aktivitas yang hanya bersifat pencitraan.
Sebagaimana pesan ulama terdahulu: “Apa yang keluar dari hati, akan sampai ke hati.” Maka selama kita menjaga niat dan langkah kita tetap bersandar pada keikhlasan, pesan kita—meski sederhana—akan menemukan jalannya ke dalam hati orang lain.
Dunia hari ini sedang bising. Banyak suara, banyak tuntutan, banyak tekanan. Dalam kondisi seperti ini, kita butuh lebih banyak penyejuk, bukan pemanas suasana. Kita butuh suara yang tenang, bukan teriakan yang saling menyalahkan. Dan setiap dari kita bisa menjadi bagian dari itu.
Jangan remehkan satu kata baik, satu tindakan kecil, atau satu ide positif. Karena dalam dunia yang gelap, cahaya sekecil apa pun tetap berarti. Kita bisa memilih untuk menjadi lilin yang menerangi, bukan angin yang memadamkan.
Mari hadir sebagai suara yang membangun, bukan menghancurkan. Hadir sebagai energi yang menggerakkan, bukan yang melemahkan. Dan hadir sebagai pribadi yang membawa harapan, bukan menambah keputusasaan.
Karena pada akhirnya, dunia ini akan lebih baik bukan karena siapa yang paling keras suaranya, tetapi siapa yang paling tulus niatnya dan paling konsisten tindakannya.