Kisah Relawan Rumah Sakit Indonesia di Gaza, Fikri : Kami Menyaksikan Kehancuran, Genosida dan Perjuangan Tak Berakhir

Cibubur, Rasilnews — Setelah lebih dari setahun bertugas di Jalur Gaza, Fikri Rofiul Haq, relawan MerC di Rumah Sakit Indonesia Gaza Palestina, akhirnya kembali ke tanah air. Dirinya menyaksikan langsung situasi yang semakin mencekam sejak serangan 7 Oktober 2023, sebuah insiden yang memicu konflik berkepanjangan di wilayah itu.

“Saya berada di Gaza dan baru kembali ke tanah air pada 29 Oktober 2024. Alhamdulillah, saya bisa keluar dari Jalur Gaza dengan selamat,” ujar Fikri kepada Radio Silaturahim, Kamis (14/11/24) di pendopo Cibubur. Dia menceritakan bahwa selama lebih dari 400 hari sejak serangan pertama Israel, ia dan timnya menyaksikan sendiri penderitaan warga Palestina yang semakin berat setiap harinya. “Kami menjadi saksi langsung genosida yang dilakukan oleh Zionis Israel terhadap bangsa Palestina,” katanya penuh haru.

Sebelum agresi besar-besaran yang dimulai tahun lalu, Fikri menggambarkan kehidupan di Gaza sebagai kehidupan yang normal meski di bawah blokade ketat sejak tahun 2004. “Sebelum perang, masyarakat Palestina sebenarnya hidup normal. Mereka bekerja, ada yang jadi nelayan, membuka usaha, dan menjalankan bisnis, sama seperti masyarakat di belahan dunia lain,” tutur Fikri.

Namun, kehidupan warga Gaza tidaklah mudah. Mereka hidup di bawah tekanan blokade yang membuat mereka sulit bergerak bebas. “Nelayan hanya bisa melaut beberapa mil dari pantai, dan barang-barang yang masuk ke Gaza dipilih dan dibatasi oleh Israel,” jelasnya.

Transportasi pun sangat terbatas. “Tidak ada penerbangan komersial diizinkan melewati Gaza. Hanya ada drone pengintai yang berpatroli 24 jam, membuat warga selalu merasa diawasi,” ungkapnya.

Sejak serangan yang terjadi pada 7 Oktober, kondisi semakin memburuk. Fikri menuturkan, banyak warga yang kehilangan rumah, anggota keluarga, dan terpaksa berpindah-pindah untuk menghindari serangan Israel. “Mereka harus mengungsi berkali-kali karena pengusiran oleh Israel,” katanya.

Bahkan para relawan dan staf medis di Rumah Sakit Indonesia di Gaza pun terpaksa berpindah-pindah untuk mencari tempat yang aman. “Kami hanya bertahan selama 40 hari di Wisma Indonesia sebelum akhirnya terpaksa pindah ke wilayah selatan, berkali-kali dievakuasi dari kota Rafah, Almawasi, hingga Nirbala,” tambahnya.

Fikri juga mengungkapkan sisi lain dari kekejaman yang dialami warga Palestina. “Israel tidak hanya membantai, tetapi juga menculik warga Palestina. Beberapa orang yang ditangkap tidak pernah kembali,” ungkapnya. Dalam satu kesempatan, ia menyaksikan tim medis MER-C Indonesia menerima korban yang dikembalikan dengan tubuh yang mengalami kerusakan parah. “Ada korban yang bagian tubuhnya hilang, bahkan beberapa organ tubuh diduga dicuri oleh Israel untuk kepentingan mereka,” ujarnya.

Rumah Sakit Indonesia, tempat Fikri bertugas, terus beroperasi meski dalam keterbatasan. “Serangan Israel telah merusak jaringan listrik di Gaza. Sekarang listrik hanya tersedia beberapa jam per hari dan diutamakan untuk pasien kritis,” jelas Fikri. Kebutuhan medis dan sembako juga semakin sulit untuk disalurkan, terutama ke Gaza Utara yang terdampak parah oleh serangan. “Obat-obatan terbatas, dan bantuan medis sering tertahan atau ditolak oleh Israel,” ungkapnya.

Dalam situasi ini, tenaga medis tidak luput dari bahaya. “Data Kementerian Kesehatan Palestina mencatat hampir 1.000 tenaga medis menjadi sasaran serangan Israel,” tambah Fikri. Meski begitu, para tenaga medis tetap bertugas merawat korban dengan segala keterbatasan.

Perbatasan Rafah, menurut Fikri, satu-satunya jalur untuk bantuan kemanusiaan dari Mesir dan evakuasi pasien, kini ditutup akibat invasi Israel di kota Rafah. “Warga yang tersisa di Rafah terpaksa mengungsi ke kota-kota lain, seperti Khan Younis dan Dirbala. Sekarang bantuan harus melalui perbatasan Karem Shalom yang dijaga ketat oleh Israel,” ujar Fikri. tentu saja, hal ini membuat bantuan kemanusiaan sulit mencapai warga Gaza yang sangat membutuhkan.

Meski menghadapi kekejaman dan penderitaan, Fikri mengaku sering merasakan keajaiban di tengah tugasnya di Gaza. Salah satu kisah yang mengesankannya adalah ketika ia mencium jenazah seorang pemuda berusia 17 tahun yang menjadi syahid. “Jenazah pemuda itu beraroma harum, dan di jarinya masih ada tasbih digital,” kata Fikri. Kejadian ini memperkuat keyakinannya bahwa ada kedudukan istimewa bagi para syuhada.

Menurut Fikri, semangat juang masyarakat Gaza tetap tinggi meski kondisi semakin sulit. “Mereka tidak ingin pergi, mereka ingin mempertahankan tanah mereka. Bagi mereka, Masjid Al-Aqsa adalah simbol yang harus dipertahankan, bukan hanya untuk Palestina, tetapi juga untuk umat Muslim sedunia,” jelasnya.

Saat ini, Fikri berada di Indonesia untuk melanjutkan pendidikan, namun niatnya untuk kembali ke Gaza tetap kuat. “Jika ditanya apakah saya ingin kembali ke Gaza, insya Allah saya ingin kembali setelah ilmu saya cukup. Saya ingin bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat Palestina,” katanya penuh keyakinan.

Ia juga berpesan kepada masyarakat Indonesia agar terus mendukung perjuangan Palestina. “Saya berharap masyarakat Indonesia tidak pernah berhenti mendukung kemerdekaan Palestina, baik lewat doa, bantuan logistik, atau pun obat-obatan,” ucap Fikri.

Terakhir, Fikri menyampaikan pentingnya boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. “Dengan memboikot, kita bisa membantu mengurangi sumber dana Israel dan membawa mereka ke arah kekalahan. Semoga kedamaian sejati segera tercapai untuk Palestina,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *