Cilegon, Banten – Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Al-Khairiyah KH Ali Mujahidin mempunyai ide dan gagasan, sekaligus mengusulkan penggabungan atau penyatuan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta menjadi Provinsi “Banten Jayakarta” (“Provinsi Baja”) menyusul segera akan pindahnya Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
“Dalam hal ini kami telah berdiskusi secara informal dengan Pj. Gubernur Banten Dr. Al-Muktabar, dan kemungkinan itu sangat besar. Tinggal perlu dikaji lebih dalam karena bisa jadi perlu ada undang-undang yang diubah terkait hal itu,” katanya dalam perbincangan dengan wartawan di Cilegon Banten, Senin (8/5).
Ketum Al-Khairiyah menyatakan keyakinannya bahwa usulan penggabungan Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta itu akan disetujui oleh Pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi.
“Beliau akan meninggalkan kenangan terindah bagi Provinsi Banten dan DKI Jakarta yang kemudian menjadi Provinsi Banten Jayakarta atau bisa disebut dengan singkatan yang gampang dicerna, yaitu Provinsi Baja,” ujarnya.
Menurut KH Ali Mujahidin, ada beberapa dasar atau alasan perlunya membentuk Provinsi Baja. Pertama, Undang-undang No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) telah dibentuk dan tentunya cepat atau lambat Pemerintah Republik Indonesia akan memindahkan IKN ke wilayah Kalimantan.
Dalam kaitan ini, UU No.29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta perlu segera diubah mengingat Bab 1, Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disingkat Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan.
Konsekuensinya, sangat tidak mungkin dalam satu negara ada dua ibu kota negara. Artinya, jika IKN telah berpindah tempat dan bukan di DKI Jakarta lagi, maka Jakarta tidak lagi menyandang status sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI), karena Jakarta nanti bukan lagi Ibukota Negara Republik Indonesia.
Kedua, potensi perubahan status Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu tentu sangat relevan jika dikembalikan kepada aspek sejarah serta ide, gagasan, dan khittoh perjuangan “founding father”, di mana dulu DKI Jakarta berasal dari nama Sunda Kelapa yang diganti oleh Ulama dan Panglima Perang Fatahillah menjadi “Jayakarta”.
Fatahillah adalah Laksamana Cirebon dan tokoh penyebar Islam yang terkenal karena memimpin penaklukan Portugis di daerah Sunda Kelapa pada 22 Juni tahun 1527 dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Nama Jayakarta dalam aksara Dewanagari berarti “kota kemenangan”, dan Jayakarta berasal dari dua kata Sangskerta yaitu “Jaya” yang berarti “kemenangan” dan “Karta” yang berarti “dicapai”.
Selanjutya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya, yaitu Maulana Hasanuddin yang menjadi Sultan di Kesultanan Banten, sehingga wilayah Banten dan Jayakarta berada dalam kekuasaan Kesultanan Banten.
Ketiga, seiring dengan akan pindahnya IKN ke wilayah Kalimantan Timur, maka ada peluang besar yang dapat menjadi momentum untuk mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Jokowi agar mengembalikan Jayakarta menjadi satu dengan Provinsi Banten, dan bisa saja diberi nama Provinsi Banten Jayakarta (Provinsi Baja).
Keempat, secara geografis Provinsi Banten memiliki luas wilayah 8.651,20 kilo meter persegi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten.
Pada 2019 terdapat perbaruan luasan wilayah administrasi berdasarkan Permendagri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.
Menurut Permendagri tersebut, Provinsi Banten memiliki luas 9.662,92 kilometer persegi sementara DKI Jakarta hanya 664,01 kilometer persegi (256,38 sq mil) sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 29 Tahun 2007 sehingga dapat menjadi satu hamparan yang lebih luas dan ideal.
Sementara itu panjang jalur pantai antara Teluk Banten dan Teluk Jakarta, jika digabungkan menjadi satu wilayah akan sangat potensial mewujudkan peningkatan program kemaritiman Pemerintahan Jokowi dan nantinya akan lebih mudah dilanjutkan oleh estafet kepemimpinan berikutnya untuk terus dikembangkan dan dapat mendongkrak perekonomian nasional.
Belum lagi potensi ekonomi lainnya yang memang selama ini sangat erat berkaitan antara Banten dan DKI Jakarta, termasuk pasokan listrik Jawa Bali dari Banten, sementara bahan material hasil pertambangan untuk pembangunan infrastruktur bandara, jalan, gedung, dan jembatan, sebagian besar dipasok dari Banten.
Termasuk pasokan bahan baku industri kimia dan bahan baku baja logamnya, juga berasal dari Banten, sementara para pekerjanya yang berada di Tanah Abang, Tanjung Priok, Muara Angke dan daerah-daerah lainnya di Jakarta hampir tidak bisa dibedakan lagi mana orang Banten dan mana orang Jakarta asli (Betawi). Belum lagi akses jalan tol yang memang sangat dekat menghubungkan batas wilayah Banten dan DKI Jakarta.
Kelima, tentunya masih banyak pertimbangan dan kajian strategis lainnya yang akan menjadi kesempatan bagi Pemerintahan Jokowi dalam sekali mendayung dua tiga pulau dapat terlampaui.
Menuurut Ketum PB Al-Khairiyah, Indonesia akan semakin maju dengan Ibu Kota Negara yang baru, sementara Provinsi Banten dan DKI Jakarta menjadi satu dengan masing – masing PAD yang sangat besar. Provinsi Banten Jayakarta (Provinsi Baja) bahkan diharapkan dapat menjadi Provinsi terkuat, terkaya dan masyarakatnya sejahtera.
Sementara Selat Sunda bisa jadi merupakan proyeksi dan cita cita kekuatan ekonomi kemaritiman yang memang sangat potensial dan berada diwilayah “Banten Jayakarta”.
Di sisi lain, di Banten, tepatnya di Kota Cilegon sejak jaman Trikora di era Sukarno telah dibangun industri baja nasional dan menjadi pelopor bertumbuh-kembangnya industri-industri besar, vital, dan strategis di Banten dan di wilayah-wilayah provinsi lainnya.