Kelaparan Indonesia Tertinggi Ke-3 di Asia Tenggara, Pengamat: Imbas Terlalu Fokus Infrasruktur

Bekasi, Rasilnews – Pengamat ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy menilai tingginya tingkat kelaparan di Indonesia tahun ini merupakan akibat dari kebijakan pemerintah yang hanya fokus pada pembangunan infrastruktur.

“Kenapa kita bisa sampai kelaparan begitu? Karena kemarin, fokusnya adalah membangun jalur distribusinya, dalam hal ini infrastuktur. Memang Legacy Performance Index-nya membaik. Tetapi di saat yang sama, biaya logistiknya cuma turun 0,5 persen dan kalah saing dengan negara tetangga. Jadi gimana tuh? Membaik enggak?” kata Noorsy sembari tertawa saat berbincang dalam siaran Topik Berita Radio Silaturahim 729 AM di Bekasi, Jawa Barat pada Selasa (22/10).

Indonesia menduduki posisi ketiga dengan tingkat kelaparan paling tinggi di Asia Tenggara, menurut data Global Hunger Index (GHI) di angka 16,9, dikutip Selasa (22/10). Urutan pertama ialah Timur Leste dengan poin 27 dan kedua yaitu Laos dengan skor 19,8.

“Global Hunger Index, Indonesia urutan ketiga kelaparan tertinggi di Indonesia se-Asia Tenggara. Negeri yang luasnya luar biasa ini ternyata diukur oleh pihak luar sebagai menderita kelaparan. Menurut Global Food Security Index (GFSI), kita bisa lihat skor kita cuma 60,2. Sementara rata-rata global 62,2 dan rata-rata Asia Pasifik pun 63,4,” ujar Noorsy.

Tim Ahli Pusat Studi Kerakyatan UGM periode 2005-2010 itu kemudian membandingkan data yang disajikan oleh GHI dan GFSI dengan data dari pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS).

“Jadi kalau kita lihat situasinya begitu, bagi mereka yang merasa ‘Terima Kasih Jokowi’ karena Jokowi sukses itu berdasarkan statistik di dalam negeri (yang ditunjukkan pemerintah) tapi ternyata statistik pihak luar menunjukkan hal yang berbeda. Jadi angka mana yang kita percaya? Itu kan pertanyaannya, supaya kita tidak langsung ikut-ikutan beberapa pihak yang memvonis Jokowi gagal atau Jokowi sukses,” ucap Noorsy.

“Dalam dunia akademik, ketika kita tidak punya angka dari riset sendiri tentang itu, maka kedua-keduanya patut kita terima. Angka yang muncul dari GHI kita terima, angka dari GFSI kita terima, tapi ketika kita bandingkan dengan keberhasilan yang dibangun oleh BPS,” sambungnya.

Misalnya, kata Noorsy, tentang data BPS soal menurunnya angka kemiskinan dan menurunnya angka pengangguran yang berarti sejalan dengan menurunnya angka kelaparan.

Namun di sisi lain, ia mengatakan, BPS juga menampilkan data bahwa Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut yang menandai daya beli masyarakat lemah hingga jumlah masyarakat kelas menengah menurun dan beralih ke kelas bawah. Artinya, jumlah masyarakat miskin meningkat.

“Muncul angka deflasi lima bulan berturut-turut, muncul angka menurunnya kelas menengah, turunnya daya beli, muncul kesulitan pihak bawah untuk likuiditas atau makan tabungan terus, itupun kalau ada tabungan,” kata Noorsy.

“Angka-angka dari BPS itu sendiri yang mengonfirmasi bahwa angka-angka dari GHI dan GFSI.Artinya angka BPS tentang keberhasilan Jokowi mengentaskan kemiskinan menjadi tidak relevan. Ini menunjukkan angka BPS (soal menurunnya tingkat kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran) tidak bisa kita terima. Dengan kata lain infrastruktur yang dibangun tidak bisa disebut sebagai sebuah kesuksesan,” jelas mantan anggota DPR/MPR periode 1997-1999 itu.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *