Cibubur, Rasilnews – Mengutip pernyataan Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, periode 2005-2010 yang dengan tegas menyatakan, dirinya tidak peduli dengan materi pertanyaan yang dituduhkan, yang penting adalah setiap kebijakan pemerintah yang menyusahkan rakyat harus dihentikan kembali menjadi sorotan publik setelah menjalani pemeriksaan selama hampir tujuh jam. Pernyataan ini menjadi kalimat pembuka dalam Dialog Topik Berita Radio Silaturahim, Rabu (21/11/24) yang disampaikan oleh Angga Aminudin selaku News Anchor.
Pernyataan Said Didu ini kemudian memicu diskusi luas mengenai berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat. Isu ini mendapat perhatian dari banyak pihak, termasuk para tokoh dan aktivis yang mendukung Said Didu. Dalam perbincangan dengan Narasumber Radio Silaturahim, Toni Rosyid, pengamat politik dan sosial, memberikan pandangannya terkait situasi yang terjadi saat ini.
Menurut Toni, persoalan ini tidak terlepas dari dinamika tiga pilar utama dalam politik Indonesia, yakni penguasa, pengusaha, dan partai politik. Ia menilai bahwa dominasi penguasa dan pengusaha sering kali menempatkan partai politik dalam posisi yang lemah.
“Negara ini ditentukan nasibnya oleh tiga pilar: penguasa, pengusaha, dan partai politik. Namun, yang lebih dominan adalah penguasa dan pengusaha. Partai politik cenderung menjadi inferior karena bergantung pada kekuasaan, baik untuk keamanan partai, logistik, maupun eksistensi politik,” ujar Toni.
Ketergantungan partai politik terhadap kekuasaan ini, menurut Toni, telah melemahkan fungsi pengawasan lembaga legislatif. Ia menjelaskan bahwa hubungan yang terbangun antara penguasa dan pengusaha semakin memperparah situasi, terutama dengan biaya politik yang tinggi dalam setiap gelaran pemilu.
Toni juga menyoroti bagaimana pengelolaan negara kerap diwarnai oleh kepentingan kelompok tertentu, yang disebutnya sebagai mafia. Ia menyebut berbagai sektor, seperti impor bahan pangan, menjadi lahan subur bagi praktik ini.
“Di Indonesia, mafia tumbuh subur di berbagai sektor, seperti impor bahan pangan, tanah, hingga perdagangan. Setiap kebijakan dan anggaran hampir selalu ada ‘tikungannya’. Itu terjadi karena ada kesepakatan antara penguasa, legislatif, dan pengusaha,” tandasnya.
Ia mencontohkan bagaimana keuntungan besar dari sektor perdagangan, seperti impor daging atau beras, bisa digunakan untuk mendukung logistik politik, termasuk pembiayaan pilpres.
Di tengah situasi ini, Toni mengapresiasi keberanian tokoh-tokoh seperti Said Didu, Refly Harun, dan sejumlah aktivis lainnya yang tetap kritis terhadap pemerintah.
“Kita beruntung memiliki orang-orang seperti Said Didu. Mereka mengkritik bukan karena benci, tetapi karena cinta kepada bangsa ini. Apa yang mereka lakukan adalah bentuk pengorbanan demi mengingatkan pemerintah agar lebih berpihak kepada rakyat,” tegasnya.
Toni juga menekankan bahwa oposisi bukanlah tindakan kebencian, melainkan bentuk kepedulian terhadap negara. “Mereka mengambil risiko besar untuk mengingatkan kita semua. Jika mereka hanya mengejar kenyamanan, tentu mereka akan diam saja. Tapi mereka memilih jalan berbeda karena cinta pada Indonesia,” tutupnya.
Diakhir pembicaraan, pengamat sosial politik ini berharap agar pemerintah dapat mengambil pelajaran untuk memperbaiki sistem dan mengutamakan kepentingan rakyat.