Selasa, 19 Zulhijjah 1445 H/ 25 Juni 2024
Baru saja Ibu kota Negara RI Jakarta memperingati hari ulang tahunnya yang ke 497. Adalah 22 Juni 1527 dijadikan sebagai pijakan, yang bertepatan pula dengan momentum bangsa Indonesia menyiapkan proklamasi kemerdekaan dengan disahkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dalam siding BPUPKI. Ada apa dengan Jakarta dan rakyatnya yang selalu beririsan dengan budaya Islam? Jakarta juga tak bisa dilepaskan dengan budaya Betawi ditengah keberagaman etnis penduduknya.
Sekitar 497 tahun yang lalu, tepat ditanggal 22 Juni 1527 ketika Kesultanan Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Nama Sunda Kelapa kemudian diubah menjadi Jayakarta. Kota Jayakarta tumbuh sebagai tempat perdagangan komunitas antar pedagang dari Cina, India, Arab, Eropa, dan Nusantara. Kemudian di tahun 1619, Jayakarta ini dihancurkan dan diubah menjadi Kota Batavia oleh Belanda. Kurang lebih 3,5 abad Kota Batavia ini dibawah naungan Belanda, sampai akhirnya tahun 1942 wilayah ini dikuasai Jepang dan kembali diubah menjadi Djakarta. Tidak bertahan lama masa kekuasaan Jepang, tahun 1945 Jakarta sudah berada dibawah naungan Republik Indonesia.
Sejak dahulu memang daerah yang kini bernama Jakarta ini memang selalu ramai disinggahi oleh berbagai bangsa di dunia mulai dari Arab, India, Cina, hingga Eropa sehingga campuran budaya, akulturasi, sering terjadi di etnis Betawi. Nama “Betawi” sendiri berasal dari kata “Batavia” yang lama kelamaan berubah menjadi “Batavi”, kemudian berubah menjadi “Betawi” (disesuaikan dengan lidah masyarakat lokal). Secara historis, suku Betawi merupakan masyarakat multietnik yang membaur dan membentuk sebuah entitas baru. Suku Betawi terlahir karena adanya percampuran genetik atau akulturasi budaya antara masyarakat yang mendiami Batavia. Setelah adanya percampuran budaya, akhirnya dibuat sebuah komunitas besar di Batavia. Komunitas ini menjadi suku dan identitas baru yang dinamakan Betawi.
Bicara Betawi pun sangat erat kaitannya dengan Islam. Ada dua pendapat tentang masuknya Islam ke tanah Betawi. Pertama menyatakan bahwa Islam datang dibawa ke Sunda Kalapa oleh Fatahillah saat dia menaklukan dan mengalahkan Portugis di Sunda Kalapa pada 1527 M. Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam dibawa ke Sunda Kelapa oleh Syeikh Quro pada abad ke 15 M, lebih awal dibandingkan oleh Fatahillah, Ridwan Saidi seorang sejarawan dan budayawan Betawi adalah salah satu tokoh yang mendukung pendapat kedua ini.
Islam di Betawi memang memberikan nafas tersendiri yang cukup kuat pada kebudayaan dan beberapa kesenian Betawi. Islam bahkan memberikan identitas sosio-kultural kepada orang Betawi yang dalam kurun waktu yang lama disebut dan menyebut diri mereka sebagai orang Selam. Betawi merupakan mosaik kebudayaan yang memiliki tekstur Islami tanpa kehilangan nuansa tradisionalnya.
Susan Blackburn, penulis buku ‘Jakarta: Sejarah 400 Tahun’ bahkan mengungkapkan setidaknya ada dua ciri khas dari etnis Betawi, pertama ialah mereka beragama Islam dan fanatik terhadap agamanya, hal ini kemungkinan akibat berdatangannya para pedagang dan mubaligh dari daerah Arab ke tanah Betawi. Kedua yang jadi ciri khas Betawi ialah mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri, hal ini mengagumkan mengingat di wilayah mereka terjadi percampuran berbagai suku bangsa, namun mereka bisa mempertahankan bahasa mereka sendiri.
Jakarta hari ini masih eksis sebagai kota metropolitan. Letaknya yang cukup strategis di pesisir bagian barat laut Pulau Jawa, serta mendapat julukan The Big Durian, menyaingi kota New York yang dijuluki The Big Apple. Jakarta sebagai pusat bisnis, politik, juga kebudayaan, tak heran jika kota ini menjadi pilihan banyak orang untuk mengadu nasib. Mengenyam pendidikan, membangun propspek berkarir, meningkatkan kesejahteraan ekonomi, dan sebagainya. Banyak yang berhasil, juga tak jarang yang gagal untuk bertahan hidup di Jakarta. Dengan segala dinamika yang ada, kemudahan akses juga berbagai tantangan untuk menghadapi kerasnya hidup di Kota.
Jakarta yang semakin padat, Kali Ciliwung dengan warnanya yang makin hitam pekat, infrastruktur serta mobilisasi kota semakin cepat, juga dinamika politik yang nampaknya masih berkutat dengan sebuah pangkat. Tahun ini mungkin menjadi perayaan ulang tahun terakhir Jakarta dengan menyandang status Ibu Kota Negara. Namun Jakarta tidak akan memudar pesonanya. Semoga kelak melahirkan banyak pemimpin yang amanah dan professional. Banyak harap kehidupan yang dititipkan di Jakarta, mudah-mudahan segera punya pemimpin yang amanah, mampu merealisasikan gagasan, serta bertanggung jawab atas sebuah jabatan.
Wallahua’lam bi Shawab