Senin, 23 Jumadil Akhir 1444 H/ 16 Januari 2023
Oleh: Dr. Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Da’wah Islam Indonesia
Menjelang tahun 2024, suhu politik terasa semakin memanas di negeri kita. Berbagai pihak mulai melangkah untuk menyukseskan calon presiden pilihannya. Begitu juga persiapan untuk merebut jabatan-jabatan di pemerintahan lainnya. Di berbagai group WhatsApp, perbincangan tentang pemilihan presiden dan sebagainya, telah mendominasi.
”Ngompol” (ngomong politik) memang mengasyikkan. Kadangkala, ngompol memakan waktu berjam-jam, mulai malam hari sampai dini hari. Rasa kantuk dilawan dengan kopi, demi berbincang strategi memenangkan kontestasi politik. Apa yang mau diraih dari perjuangan di bidang politik adalah “kekuasaan”. Dengan kekuasaan seorang berpotensi besar melakukan kebaikan untuk masyarakat luas. Sebaliknya, dengan kekuasaan juga seorang dapat merusak masyarakat dan menumpuk-numpuk dosa.
Dalam pandangan alam (worldview) Islam, kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Kekuasaan itu bersumber dari Allah. Artinya, Allah adalah pemberi dan pencabut kekuasaan. Jika Allah berkehendak, maka seorang bisa menjadi presiden, menteri, atau gubernur. Jika Allah belum menghendaki, seorang bisa gagal menjadi cawapres, meskipun sudah sempat diukur baju seragam khususnya.
Karena itu, seorang penguasa wajib memahami, bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah pemberian Allah; bukan sebab-akibat dari hasil kampanye yang dia lakukan. Semua hasil usaha yang kita raih adalah pemberian dan amanah dari Allah. Kita wajib berusaha, tetapi hasilnya kita serahkan kepada Allah SWT. Bahkan, ketika dokter mengobati pasiennya, lalu si pasien sembuh, maka pasien itu pun memuji Allah: “Alhamdulillah!” Segala puji bagi Allah. Bukan pasien itu mengatakan, segala puji untuk dokter.
Berpolitik secara cerdas adalah berpolitik berdasarkan agama. Bukan menjual agama untuk tujuan politik. Itu namanya politisisasi agama. Berpolitik berdasarkan agama adalah berpolitik untuk meraih keridhaan Allah, dengan cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik pula. Berjuang untuk meraih kekuasaan adalah baik. Maka itu harus dibarengi dengan niat dan cara yang baik. Dalam Gurindam 12, Raja Ali Haji menulis: ”Di antara tanda orang berakal, di dalam dunia ia mengambil bekal!”
Dengan kekuasaan di tangannya, seorang gubernur bisa mengeluarkan Pergub yang mewajibkan anak-anak muslim bisa shalat dan mengaji yang benar ketika mau lulus Sekolah Dasar. Dengan kekuasaannya, seorang Presiden bisa mengeluarkan Perpres yang memberdayakan para petani dan nelayan untuk mengelola aset-aset kekayaan negara secara adil. Bisa juga Presiden mengeluarkan “Perpres Iman-taqwa” yang mewajibkan seluruh mahasiswa muslim wajib bisa shalat dan mengaji, sebelum ujian skripsi. Itu semua adalah contoh bentuk amal-amal shaleh yang bisa dilakukan oleh penguasa. Penguasa yang cerdas adalah yang menghimpun bekal di dunia untuk akhiratnya.
Sebaliknya, penguasa bodoh adalah yang melakukan kezaliman atau tidak mengoptimalkan kekuasaannya untuk membuat kebijakan yang baik. Tugas penguasa yang utama adalah membuat kebijakan yang baik dan menerapkannya secara optimal. Tugas utama penguasa bukan mengisi ceramah subuh, sebab itu tugas utama para ulama. Tetapi, sangat bagus jika penguasa juga pandai menyampaikan taushiyah. Perkataan yang baik bagi seorang penguasa adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang baik. Sayang sekali jika seorang penguasa tidak menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membuat kebijakan yang baik dalam berbagai bidang kehidupan.
Misalnya, sang penguasa itu tidak korupsi, rajin baca Alquran, rajin puasa sunnah, tetapi ia tidak membuat kebijakan yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak rakyatnya, secara optimal. Maka, sejatinya ia telah melewatkan peluang besar untuk melakukan amal kebaikan yang abadi, berupa amal jariyah.
Kita maklum, bahwa saat ini umat Islam hidup dalam satu dunia yang dihegemoni oleh peradaban Barat yang mengusung nilai-nilai liberal sekular. Peradaban Barat adalah peradaban materialisme yang mengagungkan empat hal, yaitu: kekayaan (wealth), kekuasaan (power), kecantikan (beauty) dan popularitas (popularity). Empat hal itulah yang dipuja-puji secara berlebihan. Betapa rugi dan betapa tidak cerdasnya jika politisi bekerja mati-matian untuk meraih kekuasaan, tetapi tujuannya bukan untuk beribadah kepada Allah SWT. Rugi sekali politisi yang berpolitik hanya untuk meraih kekuasaan dan kebanggaan di dunia.
Politisi semacam ini tidak akan berbahagia dunia akhirat. Sebab, hidupnya hanya akan mengikuti berbagai aneka syahwat dan hidupnya akan bergantung kepada pujian manusia. Karena itu, kita perlu mengajak para politisi kita untuk meluruskan niat dalam berpolitik dan juga memahami cara berpolitik yang benar dan cerdas, agar tercapai tujuannya. Yakni, meraih kekuasaan untuk memperbaiki kondisi masyarakat; agar dirinya menjadi orang yang bermanfaat. Jadi, politik memang tidak kotor. Tapi, niat, tujuan, dan cara yang salah itulah yang sejatinya mengotori dunia politik kita.
Wallahu A’lam Bish-shawab