Jakarta, Rasilnews – Lembaga Pemberdayaan Sosial, Indonesia Institute for Social Development (IISD), kembali mendorong Pemerintah agar segera mengesahkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) dan meratifikasi FTCT.
Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) ini merupakan perjanjian internasional yang dirancang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk membentuk aturan global atas pengendalian tembakau.
“Dorongan ini tentunya guna melindungi generasi masa kini dan mendatang dari dampak kesehatan, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diakibatkan konsumsi dan paparan asap rokok,” kata Sudibyo Markus, Adviser IISD saat menyampaikan pengantar diskusi media yang digelar IISD secara virtual di Jakarta, Senin (5/8).
Dia juga menekankan langkah revisi PP 109/2012 dan ratifikasi FTCT ini harus segera diambil oleh pemerintah mengingat fakta di lapangan yang sudah mengkhawatirkan, di mana Indonesia sudah memasuki kondisi darurat perokok khususnya perokok anak.
Berdasarkan hasil survei global terbaru terkait penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey – GATS) yang dilaksanakan pada 2011 dan diulang pada 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden. Hasil riset ini juga sudah dirilis oleh kementerian kesehatan pada bulan juni 2022 bertepatan memperingati hari tanpa tembakau sedunia (HTTS).
Dalam temuan tersebut, selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.
Dijelaskan bahwa adanya kenaikan prevalensi perokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0,3% (2011) menjadi 3% (2021). Sementara itu, prevalensi perokok pasif juga tercatat naik menjadi 120 juta orang.
Belum lagi prevalensi perokok anak terus meningkat tiap tahunnya, di mana pada tahun 2013, mencapai 7,20%, lalu naik di tahun 2016 menjadi 8,80%, di tahun 2018 jadi 9,10%, dan jika angka ini dibiarkan maka kemungkinan di tahun 2030 perokok anak Indonesia bisa mencapai 16%.
Kematian penyakit akibat dari perilaku merokok dari 33 jenis penyakit berkaitan mencapai 230.862 pada tahun 2015 dan total kerugian makro mencapai Rp 596,61 triliun.
“Data ini sudah sangat mengkhawatirkan, semestinya sudah menjadi alarm (tanda bahaya) bagi Pemerintah Indonesia,” ujarnya.
Pembahasan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah diawali sejak 2017 lalu dan masih berlangsung sampai sekarang.
Peraturan Pemerintah ini sudah berusia 10 tahun sejak pertama kali disahkan dan dianggap mendesak untuk segera direvisi karena sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan situasi saat ini.
Terlebih, hingga saat ini PP 109 tahun 2012 yang juga sedianya menjadi instrumen payung hukum untuk pengendalian tembakau dalam negeri serta pengamanan terhadap bahan yang mengandung zat adiktif yakni produk tembakau, tidak kunjung direvisi oleh Pemerintah.
Perkembangan terbaru, setelah mengalami berbagai tahapan akhirnya bulan November 2021 lalu, upaya revisi Peraturan Presiden tersebut dikembalikan izin prakarsa oleh Sekneg kepada Kementerian Kesehatan untuk dikaji secara komprehensif.