Kamis, 21 Zulqodah 1445 H/ 30 Mei 2024
Di bulan Dzulhijjah ada dua ibadah utama yang disyariatkan Allah SWT kepada umat Islam. Dua ibadah ini adalah haji dan qurban. Tahun ini, tahapan awal rangkaian ibadah haji yang dilakukan oleh jemaah haji sedunia di tanah suci sudah dimulai. Sebagian jemaah haji pun secara bergelombang sudah mulai berdatangan dari negerinya masing-masing. Diperkirakan ada dua juta jemaah haji dari berbagai negara akan hadir di Baitullah.
Tak ada harapan dan cita-cita para jemaah haji saat berangkat ke Tanah Suci selain ingin mendapatkan predikat haji mabrur. Karena balasan haji mabrur tidak lain adalah surga. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, haji adalah salah satu ibadah yang utama. Ibadah haji bahkan memiliki keutamaan besar yang sejajar dengan jihad fi sabilillah. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji dan orang yang umrah adalah tamu-tamu Allah. Allah mengundang mereka, mereka pun memenuhi undangan-Nya. Lalu mereka meminta kepada Allah, Allah pun memenuhi permintaan mereka.” (HR Ibnu Majah).
Patut untuk dihayati oleh umat bahwa berhaji bukan saja memenuhi dimensi ruhiyah (spiritual). Ibadah haji juga memenuhi dimensi sosial dan perjuangan. Di antaranya, dalam ibadah haji tecermin keberhasilan Islam menjadi ideologi yang meleburkan umat manusia menjadi satu kesatuan tanpa perbedaan suku, ras, warna kulit maupun strata sosial. Tanah Suci menjadi tempat peleburan besar untuk seluruh umat manusia. Karena salah satu hikmah ibadah haji adalah saling mengenal sesama umat muslim lintas bangsa dan lintas negara.
Dalam persinggungan di setiap pelaksanaan rangkaian haji diharapkan bisa terjadi interaksi intens sehingga para jamaah bisa saling mengerti kondisi umat muslim di belahan dunia lain. Dengan begitu, umat Islam bisa saling membantu dan merasakan apa yang dirasakan oleh umat Islam yang lain meski terpisah jarak dan berbeda kewarganegaraan dan berbeda suku-bangsa.
Masa ibadah haji adalah masa penghilangan sekat, semua orang berkumpul tanpa memandang bangsa, negara, warna kulit, status sosial seperti yang hendak terjadi besok di padang mahsyar. Mereka berkumpul dengan satu kesamaan yaitu sama-sama merasa sebagai hamba Allah dan sama-sama umat dari Nabi Muhammad ﷺ. Berangkat dari titik kesamaan ini diharapkan timbul perasaan sebagai saudara, menganggap orang lain bukan sebagai mereka tapi sebagai kita.
Hikmah yang demikian agung ini sebenarnya telah bisa dirasakan semenjak sebelum keberangkatan haji yang tercermin dalam syarat-syarat wajib haji. Yang dimaksud syarat wajib adalah beberapa hal yang bila telah terpenuhi maka seseorang telah berkewajiban melakukan haji. Bila hal-hal ini belum terpenuhi maka belum wajib berhaji meski tidak ada larangan melakukannya. Syarat wajib tersebut ada lima yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka (bukan hamba sahaya), dan istitha’ah (mampu melaksanakan). Istitha’ah ini mencakup ketersediaan bekal dan kendaraan, rute perjalanan yang aman, dan masih cukup waktu untuk melakukan perjalanan ke lokasi haji terhitung mulai memilki bekal dan kendaraan.
Terkait ketersediaan bekal dan kendaraan tersebut, yang dimaksud adalah memiliki harta yang cukup sebagai bekal dan membayar biaya perjalanan haji setelah memperhitungkan biaya pelunasan hutang dan biaya hidup orang yang berada dalam tanggung jawabnya seperti istri dan keluarga. Menurut Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin dalam Busyra al-Karim dan Syekh Sulaiman al-Kurdi, ungkapan ‘biaya hidup orang yang berada dalam tanggung jawabnya’ tak hanya berarti keluarga atau kerabat dekat. Lebih luas, ia mencakup setiap orang Islam dan non muslim yang berada di bawah perlindungan (dzimmah) yang sedang mengalami kesulitan kebutuhan pokok dan harus mendapat penanganan segera meski bukan keluarga.
Ibadah haji juga dilaksanakan atas dasar istitha’ah (mampu). Namun, kata mampu bagi sebagian besar umat Muslim (di Indonesia khususnya), hanya diartikan sebagai kemampuan secara materi. Sebagaian besar kita cenderung menghilangkan bahwa kata mampu juga bermakna kemampuan kita secara spiritual. Pemahaman yang parsial inilah yang menyebabkan ibadah haji seperti hilang hakikat spiritual dan fungsi sosialnya. Mereka yang berangkat haji, hanya menjadikan kemampuan materi sebagai standar untuk menjalankan ibadah haji. Wajar jika di negeri ini banyak koruptor yang menggunakan uang hasil korupsinya untuk berhaji, dan hasilnya adalah tidak ada kesinambungan batiniyah yang berakibat langsung pada kehidupan sosial pasca mereka pulang dari berhaji.
Sejatinya, sebagai rukun Islam terakhir, haji menjadi semacam perayaan dari perjalanan ruhaniah yang begitu panjang, yang dilakukan oleh umat Muslim. Ini menekankan kepada kita bahwa ibadah haji merupakan tahap akhir sekaligus titik awal bagi diri kita menuju pribadi Muslim yang lebih baik sekaligus mampu memberikan kebaikan kepada orang lain.
Wallahu ‘Alam Bishawwab