Bogor, Rasilnews – Wakil Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid (HNW) kembali menegaskan penolakannya terhadap draf Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang dibuat oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pasalnya, draf tersebut menghilang frasa ‘madrasah’ di dalamnya.
“Sangat memprihatinkan dengan kondisi seperti ini, madrasah dianggap tidak penting, hal ini bisa terjadi karena bisa jadi menterinya tidak paham sejarah madrasah atau realitas madrasah yang sangat unggul,” kata HNW dalam wawancara eksklusif Topik Berita Radio Silaturahim 720 AM, Kamis (11/8).
HNW lalu membeberkan sejumlah prestasi dari madrasah. Salah satunya diraih MAN Insan Cendikia Serpong dengan menempati ranking satu dalam daftar Top 1.000 Sekolah Tahun 2021 Berdasarkan Nilai UTBK yang dibuat Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT).
“Mungkin akan kaget jika saya sebutkan bahwa madrasah rangking satu se-Indonesia di tingkat sekolah menengah atas. 10 tahun terakhir ini kalau nggak rangking satu, rangking dua. Terakhir di 2021 kemarin, dia rangking satu. Itu artinya madrasah bisa sangat hebat,” paparnya.
Selain itu, kata HNW, banyak pula tokoh-tokoh masyarakat, ulama, hingga politikus yang mengenyam pendidikan dari madrasah. Menurutnya, madrasah memiliki kaitan erat dengan pendidikan di Indonesia sehingga tidak boleh dikesampingkan.
Kejadian seperti ini, lanjut HNW, bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim pernah mengeluarkan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang di dalamnya tidak tercantum kata ‘agama.’
“Dulu pernah menteri pendidikan mengeluarkan Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020 2035 di situ hilang kata agama. Di situ kita tolak,” kata HNW.
“Ada lagi Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahkan sudah ditandangi presiden. Di situ hilang yang namanya iman, takwa, dan akhlak mulia yang merupakan ketentuan Undang-undang Dasar. Setelah kita kritik keras kemudian ditarik lagi,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, Kemendibudristek juga pernah mengeluarkan dua jilid kamus sejarah Indonesia. Tetapi dalam kamus itu, kata HNW, banyak sekali peran tokoh umat Islam maupun organisasi Islam yang tidak dicantumkan.
“Yang ada malah penjelasan panjang tentang PKI, tokoh-tokoh PKI. Setelah kita kritik keras, akhirnya dicabut. Jadi ini bukan pertama kali, ini realitas yang berulang,” jelas politikus fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Dengan berbagai kebijakan kontroversi yang dibuat oleh Mendibudristek saat ini, HNW meminta masyarakat khususnya umat Islam untuk peduli kepada politik. Sehingga orang-orang yang memiliki pemahaman tentang Islam dapat mengisi posisi-posisi di pemerintahan.
“Ini permasalahan terkait dengan ‘the man behind the gun,’ siapa yang berada di balik seluruh perilaku-perilaku ini. Ini mengingatkan kita pernyataan seorang tokoh politik dari Turki, Erbakan. Ia mengatakan, kalau umat Islam tidak peduli dengan politik nanti politikus yang berkuasa adalah politikus yang tidak peduli dengan umat Islam,” ujarnya.
“Ini adalah medan perjuangan terbuka. Menjaga kemaslahatan umat agar tidak dicederai oleh mereka-mereka yang tidak paham tentang sejarah dan konstitusi,” sambung HNW.
Lebih jauh, HNW menyatakan, saat ini Komisi VIII DPR RI sedang memperjuangkan keadilan anggaran pendidikan antara sekolah umum dan sekolah keagamaan, baik itu madrasah (khusus Islam) maupun sekolah agama lainnya.
“Selama ini anggaran tidak adil. Anggaran untuk Kemendibudristek sangat tinggi sekali, sedangkan untuk kemenag terutama di bidang pendidikan jauh di bawah. Satu anggaran untuk UI (Universitas Indonesia) cukup untuk anggaran 14 IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di Indonesia. Jadi bisa dibayangkan memang ada ketidakadilan. Kita tidak tuntut yang sama tapi yang adil. Bukan hanya untuk sekolah agama Islam ya, tapi sekolah agama yang lain juga,” tandasnya.