Jakarta, Rasilnews – Abdullah Hehamahua, mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2005-2013, menekankan pentingnya kesadaran pejabat negara terkait gratifikasi sebagai salah satu bentuk korupsi yang sering diabaikan. Dalam sebuah wawancara Topik Berita Radio Silaturahim, Jum’at (17/09), Abdullah menguraikan dasar hukum serta mekanisme pelaporan gratifikasi yang wajib dipahami oleh semua pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS).
“Persoalan gratifikasi kita harus merujuk ke Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 12B tentang gratifikasi,” jelas Abdullah Hehamahua. Menurut undang-undang ini, gratifikasi didefinisikan sebagai penerimaan sesuatu oleh PNS atau penyelenggara negara dalam kaitan dengan pelaksanaan tugasnya. “Siapa saja dia, apakah office boy, apakah clean service, apakah menteri, bahkan presiden, jika dia penyelenggara negara dan menerima sesuatu dalam pelaksanaan tugasnya, itu termasuk gratifikasi.”
Abdullah menambahkan, sesuai dengan Pasal 12B, penerima gratifikasi harus melaporkan penerimaannya ke KPK dalam waktu 30 hari kerja. Jika nilai yang diterima lebih dari Rp10 juta, penerima harus membuktikan bahwa itu bukan suap. “Kalau bisa membuktikan, KPK akan mengembalikan barang yang diterima. Tapi jika tidak bisa, KPK akan menyita dan menyerahkannya ke Kementerian Keuangan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” tambahnya.
Dalam penjelasannya, Abdullah juga menyoroti aturan untuk gratifikasi di bawah Rp10 juta, yang menurutnya tetap harus diusut oleh KPK. “Kalau nilainya di bawah Rp10 juta, KPK dengan instrumennya akan membuktikan apakah itu suap atau tidak. Jika terbukti suap, maka tetap akan disita,” tuturnya.
Menurut Abdullah, meskipun terlihat sepele, gratifikasi dapat berdampak besar. “Orang KPK selalu membawa air mineral saat bertugas, karena air mineral juga punya harga, bisa Rp5 ribu, Rp10 ribu. Jika ada 3,5 juta PNS di Indonesia yang masing-masing menerima barang kecil setiap harinya, berapa miliar yang bisa terkumpul dalam sepekan atau setahun?” ungkapnya, menggambarkan dampak akumulatif dari gratifikasi.
Selain uang tunai, Abdullah juga menjelaskan bentuk-bentuk gratifikasi lainnya, seperti diskon di luar kewajaran, komisi, atau fee dari proyek tertentu, hingga fasilitas perjalanan yang diberikan oleh pihak swasta kepada pejabat negara. “Jika misalnya seorang pejabat mendapatkan diskon tambahan saat membeli mobil karena jabatannya, maka diskon itu adalah gratifikasi. Begitu juga dengan rate bunga bank yang diberikan lebih rendah dari normal karena status pejabat, itu pun gratifikasi,” tambah Abdullah.
Dia menegaskan bahwa apapun bentuk penerimaan yang tidak sesuai dengan harga pasar atau ketentuan normal, pejabat negara harus segera melaporkannya ke KPK. “Seorang pejabat yang mendapatkan tiket gratis untuk perjalanan dinas, meskipun diberikan oleh teman atau pengusaha, itu tetap merupakan gratifikasi dan harus dilaporkan,” katanya.
Abdullah, yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang teguh dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi, juga mengungkapkan bahwa sikap kerasnya terhadap gratifikasi dan korupsi berakar pada ajaran agama. “Saya pelajari 30 jenis perbuatan korupsi yang diatur dalam undang-undang KPK, semuanya ada dasarnya di hadis Rasulullah SAW,” ujar Abdullah.
Dia menjelaskan salah satu contoh hadis tersebut, di mana seorang pemungut zakat melaporkan bahwa sebagian dari hasil zakat yang dikumpulkan adalah hadiah dari muzaki. “Rasulullah marah dan kemudian naik ke mimbar, mengumumkan bahwa hadiah tersebut tidak seharusnya diterima oleh pemungut zakat. Dari situ, kita bisa melihat bahwa penerimaan hadiah oleh pejabat publik dalam konteks tugasnya adalah hal yang dilarang,” pungkas Abdullah.
Dalam wawancaran tersebut, Abdullah juga menyinggung salah satu kasus gratifikasi yang melibatkan pimpinan KPK beberapa tahun lalu. “Salah satu pimpinan KPK waktu itu menerima fasilitas khusus saat menghadiri balapan motor di NTB. Sebelum kasusnya diproses lebih lanjut oleh KPK, pimpinan tersebut memilih mengundurkan diri,” kenangnya.
Kasus ini, menurut Abdullah, menjadi contoh nyata bahwa gratifikasi bisa menjebak siapa saja, bahkan pejabat tinggi sekalipun. Oleh karena itu, dia berharap agar semua pejabat negara lebih waspada dan konsisten dalam melaporkan setiap bentuk gratifikasi yang mereka terima.
Abdullah Hehamahua menekankan bahwa gratifikasi, sekecil apapun nilainya, adalah pintu masuk korupsi yang harus diwaspadai oleh setiap penyelenggara negara. Dengan landasan hukum yang jelas dan panduan dari ajaran agama, Abdullah berharap bahwa kesadaran pejabat publik terhadap gratifikasi dapat meningkat, sehingga korupsi di Indonesia dapat ditekan lebih efektif.